10 June 2008

Teknologi Pengolahan Pangan

Evolusi teknologi pengolahan pangan bermula ketika manusia purba menemukan roda dari batu, untuk kemudian dimanfaatkannya menggiling serealia menjadi tepung. Dewasa ini teknologi pengolahan pangan begitu pesatnya berkembang pada laju revolusi, bersamaan dengan pertanian dan energi, dan seringkali menciptakan celah antara negara industri dan negara berkembang, negara kaya dan negara miskin. Untuk terus menerus berkembang kemajuan ini, pendidikan merupakan prasyarat untuk penggunaan dan pengembangan teknologi, serta untuk evaluasi jenis teknologi yang memungkinkan diaplikasikan dalam perkembangan lingkungan. Sebuah teknologi yang disebut-sebut sebagai "Teknologi Tepat Guna".

"One machine can do the work of fifty ordinary men. No machine can do the work of one extraordinary man."

SULFIT DIPERMASALAHKAN

Penggunaan sulfit untuk mengawetkan makanan, ditemukan dapat mengganggu kesehatan konsumen sehingga para peneliti di Amerika Serikat sibuk mencari alternatif penggantinya. Selain itu, penggunaan nitrit, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan “sendawa” dipersoalkan pula sejak lama, karena memungkinkan timbulnya gangguan terhadap kesehatan konsumen.

Penggunaan sulfit dan nitrit di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan tentang Bahan Tambahan Makanan. Tetapi sejauh ini tidak diketahui apa yang terjadi di masyarakat, karena kurangnya kontrol. Sulfit dapat dengan mudah dibeli di toko-toko bahan kimia dengan sebutan zat pemutih. Kelihatannya bahan ini banyak digunakan oleh industri kecil pangan.

Nitrit lebih mudah lagi diperolehnya, bahkan di warungpun kita dapat membeli “sendawa”. Industri pengolahan daging yang banyak menggunakan bahan ini kelihatannya mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan tersebut. Tetapi ibu-ibu rumah tangga, nampaknya sebagian besar tidak pernah tahu bahwa penggunaan sendawa tersebut ada peraturannya, dan kalau dilanggar dapat berakibat buruk terhadap kesehatan.

Sulfit

Senyawa sulfit sejak lama digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno dan bangsa Romawi telah menggunakan asap hasil pembakaran belerang untuk sanitasi dalam pembuatan anggur.

Asap hasil pembakaran belerang akan mengandung gas belerang dioksida (SO 2), yang kemudian akan larut dalam air membentuk asam sulfit. Kemudian penggunaannya berkembang, dan sulfit digunakan untuk mengawetkan sayuran dan buah-buahan kering, daging serta ikan.

Senyawa-senyawa sulfit yang biasa digunakan berbentuk bubuk kering. Misalnya natrium atau kalium sulfit, natrium atau kalium bisulfit dan natrium atau kalium matabisulfit.

Ada dua tujuan yang diinginkan dari penggunaan sulfit, yaitu: (1) untuk mengawetkan (sebagai senyawa anti mikroba), dan (2) untuk mencegah perubahan warna bahan makanan menjadi kecoklatan.

Umumnya, senyawa sulfit hanya efektif untuk mengawetkan bahan makanan yang bersifat asam, dan tidak efektif untuk bahan makanan yang bersifat netral atau alkalis. Sulfit dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat merusak atau membusukkan bahan makanan dengan tiga macam mekanisme yang berbeda, tetapi pada dasarnya adalah menginaktifkan enzim-enzim yang terkandung dalam mikroba.

Reaksi pencoklatan yang terjadi dalam bahan makanan dapat disebabkan oleh dua macam reaksi, yaitu enzimatis dan non enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis seringkali kita jumpai bila kita mengupas buah apel, salak, pisang atau buah-buahan lain atau juga kentang.

Apabila buah yang sudah dikupas tersebut dibiarkan terkena udara (oksigen), maka akan timbul warna kecoklatan. Reaksi pencoklatan non-enzimatis umumnya terjadi bila kita memasukkan atau mengeringkan bahan makanan. Warna coklat akan timbul akibat terjadinya reaksi antara gula dengan protein atau asam amino.

Sulfit dapat mencegah timbulnya kedua macam reaksi tersebut. Keampuhan sulfit dalam hal mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus mengawetkan belum dapat disaingi oleh bahan kimia lain. Itulah sebabnya mengapa sulfit luas sekali pemakaiannya. Misalnya untuk sayuran dan buah-buahan kering, beku, asinan, manisan, sari buah, konsentrat, pure, sirup, anggur minuman dan bahkan untuk produk-produk daging serta ikan yang dikeringkan.

Keamanan Sulfit

Gas belerang dioksida dan sulfit dalam tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa sulfat yang tidak berbahaya, yang kemudian akan dikeluarkan melalui urin. Mekanisme detoksifikasi ini cukup mampu untuk menangani jumlah sulfit yang termakan.

Itulah sebabnya dalam daftar bahan aditif makanan, sulfit digolongkan sebagai senyawa GRAS (generally recognized as safe) yang berarti aman untuk dikonsumsi.

Namun demikian, dosis penggunaannya dibatasi, karena pada konsentrasi lebih besar dari 500 ppm (bagian per sejuta), rasa makanan akan terpengaruhi. Selain itu, pada dosis tinggi sulfit dapat menyebabkan muntah-muntah. Dan juga senyawa ini dapat menghancurkan vitamin B1. Itulah sebabnya sulfit tidak boleh digunakan pada bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber vitamin B1.

Akibat negatif sulfit yang sekarang ramai didiskusikan oleh para ahli adalah ditemukannya sulfit dapat menimbulkan asma (asthma) pada orang–orang tertentu. Senyawa aktif yang dapat menyebabkan asma tersebut adalah gas belerang dioksida yang terhirup pada waktu mengkonsumsi makanan yang diawetkan dengan sulfit.

Sesuatu hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa sekitar 30-40% anak-anak mempunyai gejala penyakit asma, sedangkan pada orang tua angkanya lebih kecil yaitu sekitar 1-5 persen. Dari jumlah ini, sekitar 25% sensitif trehadap sulfit.

Kemampuan sulfit untuk mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus mengawetkan bahan makanan belum dapat digantikan oleh senyawa kimia lain. Tetapi mengingat efek negatif yang dapat ditimbulkannya bagi kesehatan tubuh, adalah kebijaksanaan untuk mengurangi jumlah penggunaannya.

Di negara-negara Barat (terutama Eropa) hal ini telah lama dilakukan. Pencegahan reaksi pencoklatan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa eritrobat atau vitamin C yang lebih aman, yang digabungkan dengan penggunaan bahan pengawet lain, misalnya asam atau garam sorbat.

Nitrit

Penggunaan nitrit dalam pengolahan makanan telah sejak lama dilakukan. Hal ini dimulai secara tidak sengaja dengan ditemukannya daging yang diawetkan dengan garam kasar memberikan warna merah cerah setekah dimasak. Kemudian diketahui bahwa nitrat yang terdapat sebagai kotoran dalam garam, bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Pengawetan lebih lanjut memberikan petunjuk bahwa nitrit (yang terbentuk dari nitrat) yang bereaksi dengan pigemen daging, yang membentuk warna merah tersebut. Sejak itu nitrat dan nitrit secara luas digunakan untuk memperoleh warna merah cerah pada produk daging yang diawetkan.

Meskipun pada mulnaya penggunaan nitrat dan nitrit terutama ditujukan untuk memperoleh warna merah pada daging, ternyata senyawa-senyawa ini juga ditemukan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum yang dapat memproduksi racun yang mematikan.

Pada masa kini, nitrat dan nitrit banyak digunakan sebagai pengawet tidak saja pada produk-produk daging, tetapi juga pada ikan dan keju. Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas, karena manfaat nitrit dalam hasil olahan daging (misalnya sosis, kornet, ham dan hamburger), selain sebagai pembentuk warna merah dan pengawet anti mikroba, juga berfungsi sebagai pembentuk faktor sensori lain yaitu aroma dan citarasa (flavor).

Keamanan Nitrit

Penggunaan nitrat dan nitrit dalam makanan dibatasi karena adanya efek meracuni dari kedua zat tersebut. LD (lethal dose = dosis mematikan) rata-rata dari nitrat dan nitrit pada tikus (secara oral) adalah 250 mg/kg berat badan, sedangkan pada anjing adalah 330 mg/kg berat badan.

Umumnya nitrit lebih beracun dibandingkan dengan nitrat, oleh karena itu konsumsi nitrit pada manusia dibatasi sampai 0,4 mg/kg berat badan per hari.

Penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet yang luas penggunaannya, telah menimbulkan kerisuan dengan dipublikasikannya suatu hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa nitrit adalah suatu karsinogen. Akan tetapi akhirnya disimpulkan bahwa hal itu tidak benar.

Namun demikian, akhir-akhir ini penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet kembali disoroti oleh banyak ahli, karena adanya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa “nitrosamin”, suatu zat karsinogenik, dapat terbentuk dari hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin sekunder yang terdapat dalam bahan makanan (misalnya daging, ikan dan lain-lain).

Hal tersebut telah mendorong para ahli untuk meneliti sejauh mana kemungkinan terbentuknya nitrosamin pada bahan makanan yang diawetkan dengan nitrat dan nitrit, dan sejauh mana nitrosamin yang terbentuk tersebut dapat menimbulkan kanker pada manusia.

Salah satu kelebihan nitrosamin dibandingkan dengan karsinogen lain adalah kepastiannya untuk menimbulkan tumor pada bermacam-macam organ, termasuk hati, gimjal, kandung kemih, paru-paru, lambung, saluran pernafasan, pankreas dan lain-lain.

Konsentrasi nitrat dan nitrit yang diijinkan digunakan dalam makanan berbeda-beda antar negara, tetapi berkisar antara 10 - 200 ppm untuk nitrit dan 500 – 1000 ppm untuk nitrat (Di Indonesia, 500 ppm untuk nitrat dan 200 ppm untuk nitrit).

Akan tetapi mengingat efek negatifnya, yaitu kemungkinan diproduksinya nitrosamin yang bersifat karsinogenik, di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa dosis penggunaannya telah dikurangi sampai sekitar 40 – 50 ppm.

Jumlah nitrit sekitar 50 ppm disertai dengan penggunaan sorbat sebagai pengawet, cukup efektif untuk mengawetkan produk daging. Demikian pula penambahan vitamin C atau vitamin E telah banyak dilakukan pada produk daging yang diawetkan dengan nitrit, karena vitamin-vitamin tersebut ditemukan dapat mencegah terjadinya reaksi pembentukan “nitrosamin”.

Mencegah Keracunan Makanan Siap Santap

Beberapa minggu terakhir berturut-turut diberitakan peristiwa keracunan makanan yang terjadi di perusahaan maupun perhelatan yang diduga disebabkan oleh makanan katering yang disajikan. Peristiwa keracunan makanan siap santap atau siap saji memang seringkali terjadi ketika makanan tersebut dimasak dalam skala besar untuk banyak orang. Di Indonesia, data yang dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular menunjukkan bahwa 30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh makanan siap santap yang dihasilkan oleh jasa katering.

Dengan data yang sangat terbatas, dapat diduga bahwa keracunan makanan jenis ini banyak disebabkan oleh mikroba patogen asal pangan ( foodborne pathogen ). Di negara maju seperti di Amerika Serikat, wabah ( outbreak ) keracunan makanan yang disebabkan oleh patogen asal pangan juga paling banyak (70%) disebabkan oleh makanan siap santap olahan industri jasa boga.

Mengapa Makanan Siap Santap Menyebabkan Keracunan?

Makanan siap santap adalah makanan yang umumnya telah diproses melalui proses pemanasan. Di Indonesia, sebagian besar makanan siap santap diproses dengan panas tinggi dalam waktu yang cukup lama karena pada umumnya masyarakat Indonesia terbiasa menyantap makanan yang benar-benar matang ( well do ne). Kekecualian tentu ada, misalnya pada lalap sayur atau buah mentah. Namun sebagian besar makanan olahan adalah makanan yang telah mengalami proses yang cukup untuk membunuh bakteri patogen bukan pembentuk spora. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar keracunan disebabkan oleh bakteri-bakteri tahan panas yang membentuk spora selama pemasakan. Spora ini dapat bergerminasi ketika makanan mengalami pendinginan dan peritiwa ini didukung oleh pendinginan yang lambat sehingga memerlukan waktu lama untuk mencapai suhu yang aman (4 o C atau lebih rendah). Hal ini menjawab pertanyaan mengapa kebanyakan keracunan makanan siap santap tidak terjadi di rumah-rumah tangga dengan ukuran (jumlah) masakan kecil. Jumlah makanan yang kecil lebih memungkinkan penurunan suhu lebih cepat. Kebiasaan masyarakat Indonesia menyimpan makanan di suhu ruang dan tidak tersedianya sarana pendinginan cepat menyebabkan tumbuh kembalinya bakteri pembentuk spora tersebut.

Keracunan oleh Bakteri Pembentuk Spora

Laporan mengenai kasus keracunan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan oleh patogen paling sering (30%) disebabkan oleh tidak tepatnya proses pendiginan setelah pemasakan. Bakteri-bakteri yang bertahan dan membentuk spora selama pemanasan yang lazim ditemukan pada makanan siap santap misalnya Clostridium perfringens dan Bacillus cereus . C. perfringens yang bergerminasi pada saat pendinginan lambat dan tertelan bersama-sama makanan dapat menginfeksi usus dan menimbulkan gejala khas keracunan seperti diare, mual dan muntah 16-24 jam setelah konsumsi. C. perfrin gens telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui makanan-makanan olahan daging dan gravy . B. cereus yang memperoleh kesempatan bergerminasi pada makanan siap santap dapat tumbuh dan membentuk toksin dalam makanan tersebut. Sedikitnya 2 macam toksin B. cereus yang telah diketahui dapat menyebabkan keracunan yaitu toksin emetik yang menyebabkan muntah 2-6 jam setelah konsumsi dan toksin diare yang menyebabkan diare 12-24 jam setelah konsumsi . B. cereus telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui nasi goreng, puding pati beras dan sebagainya.

Keracunan Makanan oleh Bakteri Patogen Bukan Pembentuk Spora

Kebiasaan makan masyarakan Indonesia yang cenderung mengkonsumsi makanan yang benar-benar matang dan bukan makanan yang dimasak ringan ( medium , rare ) sebenarnya dapat menghindarkan kita dari keracunan yang disebabkan oleh patogen yang tidak membentuk spora. Hal ini disebabkan karena patogen-patogen jenis ini, relatif tidak tahan panas dan dapat dimusnahkan selama proses pemasakan.

Meskipun demikian pada kenyataannya keracunan makanan siap santap kadang-kadang terjadi karena bakteri patogen bukan pembentuk spora ini. Hal ini seringkali terjadi karena kontaminasi silang ( cross contamination ) maupun kontaminasi ulang ( recontamination ) yang terjadi setelah pemasakan pemasakan.

Kotaminasi silang dapat terjadi jika sarana, wadah atau alat pengolahan dan atau penyimpanan digunakan bersama-sama baik untuk bahan mentah maupun bahan yang telah matang. Kontaminasi ulang terutama terjadi karena kurangnya sanitasi dan higiene. Kontaminasi ulang dapat disebabkan karena penggunaan air, sarana, wadah, atau alat penyimpanan yang tercemar serta oleh pekerja yang tidak menjaga kebersihan dirinya.

Bahkan di negara maju, kontaminasi ulang dari pekerja adalah faktor yang cukup sering (13%) berkontribusi pada peristiwa keracunan. Patogen asal pekerja dapat berupa Staphylococcus aureus yang berasal dari rongga mulut, hidung atau tangan pekerja. Jika ada jeda waktu yang cukup antara pemasakan dan konsumsi, S. aureus yang mencemari makanan matang akan tumbuh dan membentuk berbagai enterotoksin. Enterotoksin S. aureus bersifat tahan panas sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pemanasan kembali yang benar sekalipun. Keracunan enterotoksin S. aureus dapat dikenali dengan tanda utama muntah 1-6 jam setelah konsumsi makanan tersebut. Bakteri ini telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui roti lapis daging, pastry berisi krim dan sebagainya.

Cemaran lainnya yang mungkin berasal dari pekerja dapat berasal dari usus yang mencemari secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui air) . yang termasuk patogen enterik ini antara lain Salmonella, Escherichia.coli, Vibr io parahaemolyticus, Campylobacter jejuni dan Listeria monocytogenes. Apabila kondisi (kandungan air, pH, aw dan suhu) makanan memungkinkan, maka bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang biak dan mungkin mencapai jumlah yang cukup tinggi yang menyebabkan infeksi usus jika dikonsumsi. Keracunan oleh kelompok bakteri ini ditandai dengan lebih lamanya (12-48 jam) jangka waktu antara konsumsi dan munculnya gejala-gejala penyakit yang umumnya terdiri dari diare, mual, muntah (kadang-kadang) dan demam (kadang-kadang). Bakteri-baktei ini telah diketahui sebagai penyebab berbagai wabah keracunan besar, misalnya E.coli O157:H7 pada hamburger, L. monocytogenes pada keju lunak dan salad kubis, C. jejuni pada makanan sala ternak dan sebagainya.

Investigasi Keracunan Makanan

Jenis-jenis keracunan yang dilaporkan di Indonesia pada umumnya adalah keracunan makanan dengan skenario konvensional. Ciri-ciri keracunan dengan skenario ini adalah terjadi pada acara sosial yang dihadiri banyak orang, banyak korban, keracunan bersifat akut namun meliputi daerah yang terbatas (lokal), jumlah patogen tinggi, sering disebabkan oleh kesalahan dalam penangan makanan. Apabila sisa makanan masih tersedia maka investigasi keracunan jenis ini relatif lebih mudah dilakukan karena korban umumnya dapat dilacak kembali dan diambil sampel klinisnya untuk pengujian lebih lanjut. Demikian juga studi epidemiologi secara case-control maupun secara cohort mungkin dilakukan karena identitas korban maupun orang-orang yang hadir dalam acara sosial tersebut mudah diketahui. Sumberdaya manusia yang cukup dan laboratorium uji yang baik akan sangat menentukan keberhasilan investigasi.

Investigasi akan lebih sukar dijalankan pada keracunan atau wabah yang mengikuti skenario baru. Keracunan dengan skenario baru umumnya ditandai dengan ciri ciri sebagai berikut : tersebar luas, disebabkan oleh kontaminasi dalam jumlah rendah, disebabkan oleh makanan yang dijual dalam jangkauan yang lebih luas, dan peningkatan jumlah kasus tidak nyata. Investigasi keracunan ini umumnya hanya dapat disimpulkan dari suatu data surveilan penyakit atau laboratorium.

Bagaimanan Mencegahnya?

Investigasi yang baik dapat mengidentifikasi patogen dan makanan penyebab keracunan serta tahap pengolahan yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penyimpangan pada produk makanan. Dengan demikian dari kasus-kasus keracunan dapat dipelajari, misalnya, kelompok mikroba yang mana yang paling sering menyebabkan keracunan. Apabila mikroba pembentuk spora yang dominan, maka permasalahan utama terletak pada proses pendinginan setelah pemasakan. Sebaliknya apabila bakteri patogen enterik bukan pembentuk spora yang sering menjadi penyebab, berarti permasalahannya adalah kontaminasi setelah pemasakan terjadi. Meskipun pemasakan tidak sempurna ( underprocessing ) mungkin menjadi penyebab keracunan oleh patogen bukan pembentuk spora, tetapi untuk kebanyakan jenis makanan di Indonesia penyebab ini peluangnya kecil.

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora terutama dapat diatasi dengan pendinginan cepat, dimana makanan yang usai dimasak sesegera mungkin dibawa ke suhu di bawah 4 o C jika tidak langsung dikonsumsi. Untuk jumlah makanan yang besar maka sebaiknya diusahakan dapat mencapai suhu 31.5 o C dalam waktu 2 jam dan mencapai 4 o C dalam 4 jam berikutnya. Ketika jumlah makanan yang dimasak sangat besar maka penurunan suhu yang cepat sukar dicapai. Untuk itu pendinginan dapat dibantu derngan meletakkan makanan dalam wadah diatas sink atau ember berisi es, menambahkan garam pada es yang digunakan untuk mendinginkan makanan, menggunakan pengaduk bersih yang dibekukan, mengaduk makanan setiap 15 menit, menggunakan panci yang dangkal dan tidak menyimpan makanan di dalam panci dengan ketebalan lebih dari 5 cm (untuk makanan yang encer, misalnya soto) atau lebih dari 2.5 cm (untuk makanan yang kental, seperti kari), atau meletakkan makanan dalam kantong plastik dan direndam dalam air es. Jika dana memungkinkan maka disarankan untuk membeli blast chiller .

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora dapat juga diatasi dengan memasak dalam waktu yang dekat dengan waktu penyajian. Pendeknya rentang waktu akan membatasi terjadinya germinasi spora. Disamping itu sel yang bergerminasi dapat dikurangi dengan cara memanaskan kembali makanan sebelum dikonsumsi. Untuk itu maka pemanasan kembali harus dilakukan sehingga suhu makanan siap santap mencapai 60 o C atau lebih, karena suhu pemanasan kembali yang tidak cukup dapat merangsang germinasi spora.

Pencegahan keracunan oleh bakteri bukan pembentuk spora dilakukan dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi silang maupun kontaminasi ulang. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang dapat menghindarkan kontaminasi silang. Pemanasan kembali dengan suhu yang cukup hanya dapat menghilangkan bakteri enterik tetapi tidak dapat menginaktifkan enterotoksin yang telah terlanjur terbentuk oleh S. aureus . Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene yang baik pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasan-kebiasaan pekerja.

Mungkinkah Makanan Dan Minuman

Pada waktu ini seringkali terlihat pada label-label makanan kalengan atau minuman dalam karton kalimat “tanpa bahan pengawet”. Pihak produsen sengaja mencantumkan hal itu, karena umumnya konsumen sangat awam terhadap apa itu bahan pengawet dan selalu mengasosiasikan sebagai bahan yang beracun, sehingga cara ini akan memperlancar penjualan produknya.

Akan tetapi ada pula segolongan konsumen yang tidak percaya akan kebenaran tulisan dalam label tersebut. Mereka berpikir jangan-jangan ini hanya merupakan akal produsen supaya produknya lebih laku, padahal didalamnya tetap mengandung bahan pengawet.

Terlepas dari benar tidaknya kalimat yang terdapat dalam label makanan/minuman tersebut, tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dalam judul diatas.

Pengawetan Dengan Panas

Pengawetan makanan/minuman dapat dilakukan dengan berbagai macam cara : pendinginan/pembekuan, pengeringan, pengasapan, penggaraman, pemanasan (pasteurisasi, sterilisasi) dan penambahan bahan pengawet kimia. Semua cara tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menhancurkan atau mengahmbat pertumbuhan mikroba pembusuk. Dalam hal makanan kaleng atau minuman dalam karton, maka cara pengawetan yang dilakukan adalah dengan proses pemanasan (sterilisasi).

Pengertian sterilisasi disini harus dibedakan dengan istilah steril dalam bidang medis (yaitu bebas kuman), sehingga sering disebut dengan istilah sterilisasi komersial. Dalam proses sterilisasi komersial tersebut, bahan pangan dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, sehingga semua mikroba patogen dan pembusuk dapat dihancurkan. Di dalam makanan kalengan atau minuman dalam karton yang diproses dengan baik dan benar tidak akan terdapat lagi mikroba yang membahayakan kesehatan konsumen, meskipun di dalamnya masih terdapat beberapa jenis mikroba yang tahan panas.

Umumnya makanan kaleng disterilkan dengan cara konvensional sebagai berikut : bahan pangan yang telah bersih dimasukkan ke dalam kaleng, kemudian ditambahkan medium cair (sirop, larutan garam, kaldu atau saus); setelah dipanaskan sebentar kemudian kalengnya ditutup rapat. Selanjutnya dipanaskan pada suhu tinggi di dalam autoclave atau retort selama waktu tertentu, lalu segera didinginkan dalam air dingin, dikeringkan, dan akhirnya diberi label.

Sedangkan minuman dalam karton disterilkan dengan cara yang disebut sebagai aseptic canning. Berbeda dengan cara konvensional di atas, dalam proses aseptik ini wadah (karton) dan minuman masing-masing disterilkan (dipanaskan) secara terpisah, kemudian dalam suatu ruangan yang steril minuman tadi dimasukkan kedalam karton dan ditutup rapat. Cara aseptik ini seringkali disebut juga sebagai proses UHT (ultra high temperature), karena minuman dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi selama beberapa detik.

Penutupan kaleng atau karton tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga baik udara, air maupun mikroba dari luar tidak dapat masuk (menembus) ke dalam, sehingga keawetannya dapat dipertahankan.

Pada industri pengolah yang baik, makanan kaleng atau minuman dalam karton tidak akan dilemparkan ke pasaran sebelum dilakukan pengamatan apakah proses sterilisasinya baik atau tidak. Hal ini dilakukan dengan cara menyimpan produk selama dua minggu, dan selama itu dilakukan pengamatan apakah terdapat produk yang rusak/busuk atau tidak.

Bahan Pengawet

Proses sterilisasi yag dilakukan terhadap makanan kaleng atau minuman dalam karton sudah cukup menghasilkan untuk menghasilkan produk yang awet atau tahan lama disimpan tanpa mengalami pembusukan. Sehingga tidak alasan untuk menambahkan bahan pengawet ke dalamnya. Apabila ada industri pengolah yang menambahkan bahan pengawet, hal ini berarti pihak industri tersebut kurang memahami makna proses sterilisasi.

Dalam beberapa hal atau untuk produk tertentu, biasa juga dilakukan penambahan bahan pengawet. Sebagai contoh, asam sitrat seringkali ditambahakan ke dalam minuman atau buah/sayuran dalam kaleng. Hal ini dilakukan selain untuk menambah citarasa, juga untuk meningkatkan keasaman produk agar daya tahan mikroba terhadap panas menjadi rendah, sehingga proses sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah atau waktu yang lebih singkat. Hal ini penting agar mutu produk tetap terjaga (tidak over cooking). Asam sitrat tergolong aditif makanan yang aman untuk di konsumsi (oleh FDA digolongkan sebagai GRAS = generally recognized as cafe).

Selain itu, untuk produk olahan daging atau ikan biasa juga ditambahkan garam nitrat/nitrit (terutama produk olahan daging yang diinginkan warnanya kemerahan, misalnya corned beef = korned). Penambahan nitrat/nitrit ini selain untuk “memerahkan” produk daging, juga ditujukan untuk menghancurkan salah satu bakteri tahan panas yang dapat memproduksi racun, yaitu Clostridium botulinum. Selama dosis nitrat /nitrit yang digunakan memenuhi peraturan yang berlaku (untuk Indonesia : Peraturan Menteri Kesehatan), tidak usah ada kekhawatiran bahan pengawet tersebut akan meracuni tubuh.

Dari uraian tersebut terjawablah pertanyaan di atas yaitu, makanan kamleng atau minuman dalam karton tidsk mengandung bahan pengawet merupakan hal yang cukup wajar, karena proses pengawetannya tidak dilakukan oleh bahan pengawet kimia tetapi oleh proses sterilisasi (menggunakan pemanasan).

Hanya dalam produk tertentu (hasil olahan daging) biasa ditambahkan garam nitrat/nitrit. Asam sitrat seringkali juga ditambahkan ke dalam minuman dan sayuran/buah dalam karton/kaleng, tetapi segi keamanannya bagi tubuh cukup terjamin. ****

KERACUNAN SODIUM NITRIT

Sesungguhnya sodium nitrit tersebut tergolong bahan pengawet makanan yang juga diizinkan penggunaannya di Indonesia (cq Peraturan Menteri Kesehatan RI tahun 1979), namun jumlah yang diizinkan terdapat dalam makanan juga dibatasi.

Beberapa hal yang patut mendapat perhatian sehubungan dengan kasus keracunan tersebut di atas, antara lain : pertama pada waktu ini “sendawa” (saltpeter) dijual bebas dan dapat diperoleh di super market, toko-toko maupun warung-warung. Bahan ini terdiri dari campuran garam nitrat dan nitrit, dan banyak digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga untuk keperluan mengawetkan daging. Sedangkan ibu-ibu rumah tangga tersebut tidak pernah mengetahui berapa takaran (dosis) pemakaian agar terhindar dari keracunan nitrit, karena pada labelnya tidak diutarakan cara penggunaannya.

Masalah kedua adalah, nitrit juga dapat terbentuk dalam sayur-sayuran yang kaya akan senyawa nitrat, misalnya bayam. Sehingga tanpa pengetahuan tentang hal tersebut, keracunan oleh nitrit dapat juga terjadi, misalnya yang pernah terjadi pada bayi (anak kecil) yang diberi sayur bayam yang telah diinapkan semalam, di mana selama penyimpanan tersebut senyawa nitrat akan diubah oleh nitrit oleh bakteri.

Mekanisme Keracunan

Nitrit adalah senyawa nitrogen dan oksigen (NO 2 atau nitrogen oksida), sedangkan sodium nitrit adalah garam natrium (sodium) dari nitrit tersebut (NaNO 2). Senyawa aktif dari sodium nitrit adalah NO, yang dapat terbentuk apabila sodium nitrit dilarutkan.

Dalam pengawetan daging, NO tersebut akan bergabung dengan pigmen daging (yang disebut mioglobin), membentuk “nitrosomioglobin”, sehingga daging menjadi berwarna merah cerah (misalnya seperti yang kita temukan pada kornet). Mekanisme keracunan nitrit dalam tubuh dapat dianalogikan dengan reaksi tersebut.

Hemoglobin adalah pigmen darah merah yang berfungsi untuk mengikat oksigen dari paru-paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh kita. Dalam proses ini akan terbentuk apa yang disebut oksihemoglobin, sehingga darah segar terlihat berwarna merah cerah. Fungsi oksigen sendiri adalah untuk melaksanakan proses metabolisme (oksidasi) dalam tubuh, misalnya oksidasi gula untuk menghasilkan energi yang diperlukan oleh tubuh kita.

Apabila darah keluar dari urat darah (misalnya karena terluka), maka darah yang tadinya berwarna merah cerah akan berubah menjadi kecoklatan karena adanya kontak dengan oksigen dari udara. Dalam hal ini yang terjadi adalah oksidasi hemoglobin oleh oksigen (bukan pengikatan oksigen oleh hemoglobin seperti yang terjadi dalam tubuh kita).

Apabila ke dalam tubuh kita masuk nitrit (melalui konsumsi makanan), maka di dalam tubuh akan terbentuk NO seperti yang telah disebutkan di atas. Apabila nitrit yang terkonsumsi jumlahnya banyak, maka NO yang terbentuk juga banyak. NO tersebut adalah dapat bergabung dengan hemoglobin membentuk nitrosohemoglobin, seperti halnya yang terjadi pada pigmen daging.

Akibatnya hemoglobin tersebut tidak mampu lagi mengikat oksigen, sebab telah mengikat NO tersebut. Akibat lebih lanjut adalah tubuh kekurangan oksigen, sehingga akhirnya akan mengakibatkan terjadinya kematian. Kekurangan oksigen tersebut nampak pada korban yang menjadi kebiru-biruan.

Dosis Aman

Karena nitrit dapat terbentuk dari nitrat sedangkan zat aktifnya adalah NO, maka umumnya nitrit lebih beracun dibandingkan dengan nitrat. LD (lethal dose=dosis mematikan) nitrit yang diuji pada tikus percobaan adalah 250 mg per kilogram berat badan, sedangkan pada anjing adalah 330 mg per kilogram berat badan. Untuk keamanan, konsumsi nitrit pada manusia dibatasi sampai 0,4 mg/kg berat badan per hari.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.235/Men.Kes./VI/79 tentang Bahan Tambahan Makanan, ditetapkan bahwa konsentrasi nitrat (dalam bentuk garam natrium atau kalium) untuk mengawetkan

ASPEK KEAMANAN MSG BAGI TUBUH

Tulisan ini dibuat bukan untuk memperkeruh situasi, bahkan sebaliknya ingin menempatkan permasalahan pada tempatnya. Demikian pula tulisan ini tidak menyinggung masalah halal atau haramnya MSG (monosodium glutamate), karena pihak Majelis Ulama Indonesialah yang berwenang untuk itu. Yang akan dikemukakan adalah mengenai keamanan MSG bagi tubuh karena masih adaya kontroversi mengenai hal ini.

Tentu saja tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memihak kepada kepentingan siapa pun karena yang akan dikemukakan adalah kesimpulan hasil-hasil penelitian dari lembaga-lembaga yang sangat berkompeten mengenai status MSG sebagai salah satu bahan tambahan pangan (food additive), yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.

Apakah MSG?

MSG adalah garam natrium (sodium) dari asam glutamat (salah satu asam amino non esensial penyusun protein). MSG dijual sebagai kristal halus berwarna putih dan penampakannya mirip gula pasir atau garam dapur. MSG tidak mempunyai rasa, tetapi mempunyai fungsi sebagai penegas cita rasa (flavor enhancer) makanan. Sebagian besar peneliti meyakini bahwa MSG menstimulasi reseptor glutamat yang terdapat pada lidah untuk menegaskan cita rasa daging (meat like flavor). Akan tetapi yang berperan dalam hal itu adalah glutamat dalam bentuk bebas (asam glutamat), bukan sebagai garam natrium (MSG).

Dahulu orang-orang di Asia menggunakan kaldu rumput laut untuk memperoleh efek penegas cita rasa MSG. Akan tetapi, sekarang MSG diperoleh secara proses fermentasi dari bahan dasar pati, gula (bit atau tebu) atau molasses (tetes). Glutamat terdapat secara alami di dalam tubuh kita dan juga terdapat di dalam bahan pangan atau makanan yang mengandung protein seperti susu, keju, daging, kacang-kacangan, dan jamur.

Dalam usus, MSG dicerna menjadi asam glutamat bebas, sedangkan natrium akan bereaksi dengan klorida membentuk garam (NaCl). Selanjutnya asam glutamat diserap oleh usus dan dimetabolisme di dalam tubuh seperti halnya asam amino lainnya yang berasal dari protein makanan. Di dalam tubuh glutamat mempunyai peranan penting untuk berfungsinya sistem syaraf secara normal.

Regulasi Penggunaan MSG

Seperti telah disebutkan di atas, MSG merupakan salah satu bahan tambahan pangan (BTP). Di Indonesia regulasi mengenai penggunaan bahan tambahan pangan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM), Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

Peraturan tentang penggunaan BTP yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (cq Peraturan Menteri Kesehatan), mengacu pada peraturan-peraturan yang bersifat internasional seperti yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization), Codex Alimentarius dari FAO (Food and Agriculture Organization) dan juga dari US-FDA (United States, Food and Drug Administration) serta peraturan-peraturan tentang BTP dari negar-negara lain di Eropa, Kanada, Australia dan lain-lain. US-FDA dikenal sebagai badan pengawasan obat dan makanan yang sangat keras dalam hal pelaksanaan peraturannya, sehingga peraturannya banyak ditiru oleh negara-negara lain termasuk Indonesia.

Berikut ini adalah ulasan ilmiah (scientific review) tentang MSG dari US-FDA, American Medical Association (AMA), Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), European Communities (EC) Scientific Committee for Food, serta dari Joint Experts Committee on Food Additives (JECFA)-FAO dan dari WHO, Status Keamanan MSG.

Pada tahun 1959, US-FDA mengklasifikasikan MSG sebagai senyawa yang tergolong GRAS (generally recognized as safe), sama halnya seperti ingredient pangan yang umum digunakan misalnya garam dapur, cuka, dan baking powder. Hal ini berdasarkan sejarah penggunaan MSG selama sekian waktu sebelumnya yang menunjukkan bahwa MSG yang dikonsumsi dalam jumlah yang wajar tidak memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan, dengan kata lain aman untuk dikonsumsi.

Sejak tahun 1970, US-FDA mensponsori penelitian mengenai kemanan MSG, senyawa glutamat lain dan protein hidrolisat untuk meneliti ulang tentang status MSG yang dinyatakan sebagi senyawa GRAS. Pada tahun 1986, Advisory Committee on Hypersentivity to Food Constituents dari US-FDA menyimpulkan bahwa MSG tidak menunjukkan pengaruh merugikan bagi kesehatan masyarakat, tetapi reaksi dalam waktu singkat dapat terjadi pada beberapa orang tertentu. Pada tahun 1987, JECFA-FAO dan WHO menempatkan MSG dalam kategori ingredient pangan yang paling aman (the safest category of food ingredients).

Laporan dari EC Scientific Committee for Foods, pada tahun 1991, memperkuat pernyataan tentang keamanan MSG dan mengklasifikasikan acceptable daily intake (ADI) MSG sebagai not specified. Istilah not specified untuk ADI Menunjukkan bahwa MSG sebagai ingredient pangan benar-benar aman bagi tubuh (the most favorable disignation for a food ingredient). Sebagai tambahan, EC Committee menyebutkan bahwa anak-anak kecil (infants) juga dapat memetabolisasi glutamat seefisien orang dewasa.

Laporan dari the Council on Scientific Affairs of the American Medical Association pada tahun 1992, menyebutkan bahwa glutamat dalam bentuk bebas atau dalam bentuk garam (MSG) tidak memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan (has not been shown to be a “significant health hazard”).

Laporan dari the Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) pada tahun 1995 antara lain menyebutkan bahwa pertama, sejumlah orang tertentu (an unknown percentage of the population) dapat bereaksi terhadap MSG dan menimbulkan gejala seperti sakit kepala, mual-mual, dan jantung berdebar. Akan tetapi gejala tersebut terutama terjadi pada orang yang mengkonsumsi MSG dalam jumlah banyak (3 g atau lebih) dengan kondisi perut kosong (tanpa disertai makanan lain). Untuk diketahui, normalnya satu sajian makanan diberi tambahan MSG kurang dari 0,5 g; dan kedua, MSG tidak terbukti berkontribusi pada timbulnya penyakit alzheimer dan penyakit kronis lainnya.

Walaupun terdapat beberapa hasil penelitian menggunakan hewan percobaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri yang menunjukkan pengaruh negatif dari MSG bagi hewan tersebut namun data di atas menunjukkan bahwa berbagai lembaga yang sangat kompeten baik di Amerika Serikat maupun di Eropa, dan bahkan badan-badan dunia seperti FAO dan WHO, mengklasifikasikan MSG sebagai bahan tambahan pangan yang aman untuk dikonsumsi.

Bahan Tambahan Kimiawi dalam Makanan

Aditif makanan (food additives) atau dikenal dengan istilah lain: bahan tambahan makanan, bahan tambahan kimia untuk makanan atau bahan tambahan kimiawi, mulai hangat lagi dibicarakan dalam seminar-seminar yang kemudian dilansir oleh media massa. Patut disayangkan, yang menonjol dalam berita-berita di surat kabar hanya segi negatifnya saja: keracunan, timbulnya penyakit, kanker, dan sebagainya, hingga orang awam akan menyimpulkan betapa merugikannya bahan-bahan tersebut, dan tanpa diskriminasi akan menganggap bahwa semua bahan kimia yang ditambahkan ke dalam makanan adalah berbahaya (beracun).

Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam penggunaan aditif makanan di Indonesia sehingga timbulnya kasus-kasus seperti di atas, adalah terutama karena penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak semestinya. Sebagai contoh: penggunaan pewarna tekstil untuk makanan, penggunaan bahan kimia bukan aditif makanan sebagai pengawet, contohnya formalin, borax, terusi dan sebagainya. Kita belum mengetahui dengan pasti, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah tersebut.

Beberapa hal yang dapat dikemukakan antara lain: (1) ketidaktahuan produsen makanan, (2) kurang ketatnya pengawasan, (3) harga aditif makanan yang relatif masih mahal; karena kalau kita kaji lebih mendalam, kasus-kasus semacam di atas timbul dari produk-produk industri kecil (rumah tangga).

Untuk lebih mengenal tentang apa dan bagaimana aditif makanan, dalam tulisan ini akan dibahas peran positifnya dalam industri pangan. Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi kebingungan pihak awam mengenai aditif makanan.

Keinginan konsumen

Sesungguhnya penggunaan aditif makanan dalam industri pangan didasarkan atas kebutuhan dan keinginan konsumen. Apa yang dikonsumsi seseorang lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor budaya, psikologi dan nilai sosialnya daripada karena faktor gizi dan kesehatan. Salah satu fungsi dan tanggung jawab pihak industri pangan adalah memasak makanan yang sehat dan memenuhi faktor etnis, dan memproduksi makanan yang secara visual dan organoleptik menarik perhatian konsumen.

Meski kita berpegang pada prinsip makan dan minum untuk hidup, tetapi tidak dapat disangkal, kenikmatan hidup yang paling besar adalah makan dan minum. Mungkin semua orang akan setuju, sesuatu yang menakutkan bila terjadi makanan yang harus kita konsumsi hanya berupa konsentrat zat-zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup, tanpa bentuk, tanpa warna dan tanpa cita rasa sama sekali.

Aditif makanan telah dikembangkan untuk memberi bermacam-macam fungsi, sehingga konsumen dapat memilih makanan yang menarik, enak rasanya, aman bagi tubuh, menyehatkan dan menyenangkan. Definisi mengenai aditif makanan berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya, tetapi yang paling dapat diterima semua pihak adalah sebagai berikut: suatu aditif makanan adalah suatu zat atau campuran zat, selain bahan dasar pengan, yang terdapat dalam makanan sebagai hasil dari aspek-aspek produksi, pengolahan, penyimpanan atau pengepakan. Jadi dalam hal ini yang tergolong sebagai aditif makanan hanyalah zat-zat yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan, dan tidak termasuk zat-zat kontaminan.

Setiap aditif yang digunakan dalam pengolahan makanan mempunyai satu atau lebih kegunaan. Misalnya meningkatkan nilai gizi, menghambat kebusukan, atau memberikan tekstur dan sifat-sifat fisik yang unik. Contoh dan fungsi beberapa macam aditif makanan adalah sebagai berikut:

1. Antioksidan, untuk mencegah rusaknya zat-zat gizi, warna dan cita rasa:

- BHT dan BHA ditambahkan pada keripik kentang untuk mencegah ketengikan.

- Vitamin C ditambahkan ke dalam buah-buahan dalam kaleng untuk meningkatkan nilai gizi dan mencegah pencoklatan.

2. Bahan pengawet untuk mencegah kebusukan:

- Asam sorbat atau kalium sorbat ditambahkan ke dalam keju untuk mencegah pertumbuhan jamur; atau kalsium propionat ditambahkan pada roti untuk tujuan yang sama.

3. Bahan pengalir untuk mencegah penggumpalan dan pengerasan:

- Trikalsium fosfat ditambahkan ke dalam garam dapur sehingga memudahkan keluar dari wadahnya.

4. Bahan pengasam, penambah cita rasa, pewarna dan pemanis untuk meningkatkan estetika makanan:

- Asam sitrat, minyak jeruk dan zat pewarna oranye diformulasikan ke dalam makanan untuk memberikan cita rasa yang enak dan penampakan yang menarik.

Ini adalah hanya sedikit contoh bagaimana aditif makanan dapat berperan membantu dalam proses pengolahan makanan.

Aditif makanan memberi banyak kemungkinan bagi industri pangan untuk memproduksi bermacam-macam makanan dan minuman yang diinginkan oleh konsumen. Kata “makanan fabrikasi” ditujukan bagi makanan yang diformulasi dari bahan-bahan dasar terpilih serta aditif makanan yang sesuai, untuk memperoleh produk akhir dengan sifat-sifat fisiko-kimia atau nilai gizi yang diinginkan. Makanan seperti ini dapat dibuat mirip seperti aslinya, contohnya minuman jeruk untuk simulasi sari jeruk.

Umumnya kontribusi utama aditif makanan adalah memberikan kemudahan, mungkin dalam hal penyimpanan makanan, penyiapan atau waktu mengkonsumsinya. Tetapi, makanan fabrikasi mungkin juga mempunyai sifat-sifat khusus, misalnya rendah kalori untuk orang yang ingin mempertahankan berat badannya, mempunyai kadar vitamin yang tinggi bagi orang yang membutuhkan tambahan vitamin, atau rendah kandungan karbohidratnya bagi penderita diabetes.

Hubungan dengan gizi

Pertanyaan selalu dilontarkan mengenai hubungan antara gizi dan kesehatan dengan penggunaan aditif dalam makanan. Sesungguhnya hal ini sangat penting, tetapi memerlukan pembahasan yang sangat mendalam. Kita ambil saja beberapa contoh sederhana. Meskipun pengolahan menggunakan panas (sterilisasi), pengeringan atau pembekuan sangat membantu dalam mencegah kontaminasi mikroba yang berbahaya, tetapi cara-cara tersebut bukan merupakan jawaban yang definitif.

Residu spora bakteri Clostridium botulinum dapat memproduksi racun yang mematikan dalam makanan kaleng bila keasamannya tidak diturunkan dengan penambahan bahan pengasam (misalnya asam sitrat, asam sorbat), atau bila bahan pengawet (misalnya nitrat dan nitrit atau lebih dikenal dengan sebutan sendawa) tidak digunakan pada daging.

Suhu pemanggangan dalam pembuatan roti tidak cukup untuk membunuh spora bakteri Bacillus subtilis. Pada suhu ruang bakteri ini akan aktif membusukkan roti sehingga akhirnya tidak dapat dimakan lagi. Oleh sebab itu propionat biasa ditambahkan ke dalam roti sebagai bahan pengawet.

Jamur yang tumbuh pada kacang-kacang (kacang tanah) atau serealia dapat memproduksi aflatoxin (racun penyebab kanker hati), bila bahan-bahan tersebut disimpan dalam keadaan kurang kering atau bila tidak digunakan bahan pengawet anti jamur.

Semua bahan pangan mulai kehilangan nilai gizinya setelah dipanen. Proses pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan dapat lebih lanjut menurunkan nilai gizinya. Suplementasi vitamin dan mineral dalam hal ini dapat mengembalikan nilai gizi bahan pangan tersebut.

Pemanis buatan dapat menggantikan gula untuk penderita diabetes dan kegemukan. Kalsium fosfat dan kalsium karbonat yang ditambahkan ke dalam makanan dapat mencegah defisiensi kalsium bagi orang yang tidak biasa minum susu sapi.

Minyak nabati tidak jenuh digunakan dalam makanan bagi orang yang ingin menurunkan kadar kholesterol dalam darahnya. Minyak seperti ini karena derajat ketidak-jenuhannya tinggi, sangat mudah teroksidasi oleh udara. Oleh karena itu antioksidan digunakan untuk mencegah ketengikan.

Bermanfaat

Penggunaan aditif makanan dengan demikian tidak saja dapat memperbaiki penampakan, cita rasa dan mempertahankan mutu, tetapi juga mengawetkan. Bahkan dapt mempertinggi nilai gizi makanan seperti misalnya bila vitamin C, karoten atau vitamin E digunakan sebagai antioksidan.

Pernyataan bahwa aditif makanan dapat digunakan oleh para industriawan untuk menutupi mutu makanan yang jelek menjadi baik, adalah suatu anggapan yang salah. Suatu aditif makanan tidak akan dapat membuat/mengubah mutu makanan yang jelek menjadi baik, tetapi aditif dapat mencegah/menghambat kerusakan sesuatu makanan yang bermutu baik.

Dalam usaha mengikuti perkembangan industri pangan di Indonesia yang semakin meningkat, peranan aditif makanan semakin perlu mendapat perhatian, terutama yang menyangkut penggunaan yang tidak semestinya. Pemilihan bahan yang tepat, sesuai dengan sifat fungsional yang diharapkan, terutama yang tidak mempunyai dampak terhadap kesehatan/keselamatan konsumen, merupakan masalah yang dihadapi para industriawan pangan. Demikian pula perkembangan ilmu dan teknologi pangan, terutama yang menyangkut penemuan-penemuan baru mengenai aditif makanan, merupakan hal yang perlu diperhatikan karena merupakan masukan yang positif bagi pengembangan industri pangan di Indonesia.