Penggunaan sulfit untuk mengawetkan makanan, ditemukan dapat mengganggu kesehatan konsumen sehingga para peneliti di Amerika Serikat sibuk mencari alternatif penggantinya. Selain itu, penggunaan nitrit, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan “sendawa” dipersoalkan pula sejak lama, karena memungkinkan timbulnya gangguan terhadap kesehatan konsumen.
Penggunaan sulfit dan nitrit di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan tentang Bahan Tambahan Makanan. Tetapi sejauh ini tidak diketahui apa yang terjadi di masyarakat, karena kurangnya kontrol. Sulfit dapat dengan mudah dibeli di toko-toko bahan kimia dengan sebutan zat pemutih. Kelihatannya bahan ini banyak digunakan oleh industri kecil pangan.
Nitrit lebih mudah lagi diperolehnya, bahkan di warungpun kita dapat membeli “sendawa”. Industri pengolahan daging yang banyak menggunakan bahan ini kelihatannya mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan tersebut. Tetapi ibu-ibu rumah tangga, nampaknya sebagian besar tidak pernah tahu bahwa penggunaan sendawa tersebut ada peraturannya, dan kalau dilanggar dapat berakibat buruk terhadap kesehatan.
Sulfit
Senyawa sulfit sejak lama digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno dan bangsa Romawi telah menggunakan asap hasil pembakaran belerang untuk sanitasi dalam pembuatan anggur.
Asap hasil pembakaran belerang akan mengandung gas belerang dioksida (SO 2), yang kemudian akan larut dalam air membentuk asam sulfit. Kemudian penggunaannya berkembang, dan sulfit digunakan untuk mengawetkan sayuran dan buah-buahan kering, daging serta ikan.
Senyawa-senyawa sulfit yang biasa digunakan berbentuk bubuk kering. Misalnya natrium atau kalium sulfit, natrium atau kalium bisulfit dan natrium atau kalium matabisulfit.
Ada dua tujuan yang diinginkan dari penggunaan sulfit, yaitu: (1) untuk mengawetkan (sebagai senyawa anti mikroba), dan (2) untuk mencegah perubahan warna bahan makanan menjadi kecoklatan.
Umumnya, senyawa sulfit hanya efektif untuk mengawetkan bahan makanan yang bersifat asam, dan tidak efektif untuk bahan makanan yang bersifat netral atau alkalis. Sulfit dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat merusak atau membusukkan bahan makanan dengan tiga macam mekanisme yang berbeda, tetapi pada dasarnya adalah menginaktifkan enzim-enzim yang terkandung dalam mikroba.
Reaksi pencoklatan yang terjadi dalam bahan makanan dapat disebabkan oleh dua macam reaksi, yaitu enzimatis dan non enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis seringkali kita jumpai bila kita mengupas buah apel, salak, pisang atau buah-buahan lain atau juga kentang.
Apabila buah yang sudah dikupas tersebut dibiarkan terkena udara (oksigen), maka akan timbul warna kecoklatan. Reaksi pencoklatan non-enzimatis umumnya terjadi bila kita memasukkan atau mengeringkan bahan makanan. Warna coklat akan timbul akibat terjadinya reaksi antara gula dengan protein atau asam amino.
Sulfit dapat mencegah timbulnya kedua macam reaksi tersebut. Keampuhan sulfit dalam hal mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus mengawetkan belum dapat disaingi oleh bahan kimia lain. Itulah sebabnya mengapa sulfit luas sekali pemakaiannya. Misalnya untuk sayuran dan buah-buahan kering, beku, asinan, manisan, sari buah, konsentrat, pure, sirup, anggur minuman dan bahkan untuk produk-produk daging serta ikan yang dikeringkan.
Keamanan Sulfit
Gas belerang dioksida dan sulfit dalam tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa sulfat yang tidak berbahaya, yang kemudian akan dikeluarkan melalui urin. Mekanisme detoksifikasi ini cukup mampu untuk menangani jumlah sulfit yang termakan.
Itulah sebabnya dalam daftar bahan aditif makanan, sulfit digolongkan sebagai senyawa GRAS (generally recognized as safe) yang berarti aman untuk dikonsumsi.
Namun demikian, dosis penggunaannya dibatasi, karena pada konsentrasi lebih besar dari 500 ppm (bagian per sejuta), rasa makanan akan terpengaruhi. Selain itu, pada dosis tinggi sulfit dapat menyebabkan muntah-muntah. Dan juga senyawa ini dapat menghancurkan vitamin B1. Itulah sebabnya sulfit tidak boleh digunakan pada bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber vitamin B1.
Akibat negatif sulfit yang sekarang ramai didiskusikan oleh para ahli adalah ditemukannya sulfit dapat menimbulkan asma (asthma) pada orang–orang tertentu. Senyawa aktif yang dapat menyebabkan asma tersebut adalah gas belerang dioksida yang terhirup pada waktu mengkonsumsi makanan yang diawetkan dengan sulfit.
Sesuatu hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa sekitar 30-40% anak-anak mempunyai gejala penyakit asma, sedangkan pada orang tua angkanya lebih kecil yaitu sekitar 1-5 persen. Dari jumlah ini, sekitar 25% sensitif trehadap sulfit.
Kemampuan sulfit untuk mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus mengawetkan bahan makanan belum dapat digantikan oleh senyawa kimia lain. Tetapi mengingat efek negatif yang dapat ditimbulkannya bagi kesehatan tubuh, adalah kebijaksanaan untuk mengurangi jumlah penggunaannya.
Di negara-negara Barat (terutama Eropa) hal ini telah lama dilakukan. Pencegahan reaksi pencoklatan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa eritrobat atau vitamin C yang lebih aman, yang digabungkan dengan penggunaan bahan pengawet lain, misalnya asam atau garam sorbat.
Nitrit
Penggunaan nitrit dalam pengolahan makanan telah sejak lama dilakukan. Hal ini dimulai secara tidak sengaja dengan ditemukannya daging yang diawetkan dengan garam kasar memberikan warna merah cerah setekah dimasak. Kemudian diketahui bahwa nitrat yang terdapat sebagai kotoran dalam garam, bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Pengawetan lebih lanjut memberikan petunjuk bahwa nitrit (yang terbentuk dari nitrat) yang bereaksi dengan pigemen daging, yang membentuk warna merah tersebut. Sejak itu nitrat dan nitrit secara luas digunakan untuk memperoleh warna merah cerah pada produk daging yang diawetkan.
Meskipun pada mulnaya penggunaan nitrat dan nitrit terutama ditujukan untuk memperoleh warna merah pada daging, ternyata senyawa-senyawa ini juga ditemukan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum yang dapat memproduksi racun yang mematikan.
Pada masa kini, nitrat dan nitrit banyak digunakan sebagai pengawet tidak saja pada produk-produk daging, tetapi juga pada ikan dan keju. Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas, karena manfaat nitrit dalam hasil olahan daging (misalnya sosis, kornet, ham dan hamburger), selain sebagai pembentuk warna merah dan pengawet anti mikroba, juga berfungsi sebagai pembentuk faktor sensori lain yaitu aroma dan citarasa (flavor).
Keamanan Nitrit
Penggunaan nitrat dan nitrit dalam makanan dibatasi karena adanya efek meracuni dari kedua zat tersebut. LD (lethal dose = dosis mematikan) rata-rata dari nitrat dan nitrit pada tikus (secara oral) adalah 250 mg/kg berat badan, sedangkan pada anjing adalah 330 mg/kg berat badan.
Umumnya nitrit lebih beracun dibandingkan dengan nitrat, oleh karena itu konsumsi nitrit pada manusia dibatasi sampai 0,4 mg/kg berat badan per hari.
Penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet yang luas penggunaannya, telah menimbulkan kerisuan dengan dipublikasikannya suatu hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa nitrit adalah suatu karsinogen. Akan tetapi akhirnya disimpulkan bahwa hal itu tidak benar.
Namun demikian, akhir-akhir ini penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet kembali disoroti oleh banyak ahli, karena adanya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa “nitrosamin”, suatu zat karsinogenik, dapat terbentuk dari hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin sekunder yang terdapat dalam bahan makanan (misalnya daging, ikan dan lain-lain).
Hal tersebut telah mendorong para ahli untuk meneliti sejauh mana kemungkinan terbentuknya nitrosamin pada bahan makanan yang diawetkan dengan nitrat dan nitrit, dan sejauh mana nitrosamin yang terbentuk tersebut dapat menimbulkan kanker pada manusia.
Salah satu kelebihan nitrosamin dibandingkan dengan karsinogen lain adalah kepastiannya untuk menimbulkan tumor pada bermacam-macam organ, termasuk hati, gimjal, kandung kemih, paru-paru, lambung, saluran pernafasan, pankreas dan lain-lain.
Konsentrasi nitrat dan nitrit yang diijinkan digunakan dalam makanan berbeda-beda antar negara, tetapi berkisar antara 10 - 200 ppm untuk nitrit dan 500 – 1000 ppm untuk nitrat (Di Indonesia, 500 ppm untuk nitrat dan 200 ppm untuk nitrit).
Akan tetapi mengingat efek negatifnya, yaitu kemungkinan diproduksinya nitrosamin yang bersifat karsinogenik, di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa dosis penggunaannya telah dikurangi sampai sekitar 40 – 50 ppm.
Jumlah nitrit sekitar 50 ppm disertai dengan penggunaan sorbat sebagai pengawet, cukup efektif untuk mengawetkan produk daging. Demikian pula penambahan vitamin C atau vitamin E telah banyak dilakukan pada produk daging yang diawetkan dengan nitrit, karena vitamin-vitamin tersebut ditemukan dapat mencegah terjadinya reaksi pembentukan “nitrosamin”.