10 June 2008

Teknologi Pengolahan Pangan

Evolusi teknologi pengolahan pangan bermula ketika manusia purba menemukan roda dari batu, untuk kemudian dimanfaatkannya menggiling serealia menjadi tepung. Dewasa ini teknologi pengolahan pangan begitu pesatnya berkembang pada laju revolusi, bersamaan dengan pertanian dan energi, dan seringkali menciptakan celah antara negara industri dan negara berkembang, negara kaya dan negara miskin. Untuk terus menerus berkembang kemajuan ini, pendidikan merupakan prasyarat untuk penggunaan dan pengembangan teknologi, serta untuk evaluasi jenis teknologi yang memungkinkan diaplikasikan dalam perkembangan lingkungan. Sebuah teknologi yang disebut-sebut sebagai "Teknologi Tepat Guna".

"One machine can do the work of fifty ordinary men. No machine can do the work of one extraordinary man."

SULFIT DIPERMASALAHKAN

Penggunaan sulfit untuk mengawetkan makanan, ditemukan dapat mengganggu kesehatan konsumen sehingga para peneliti di Amerika Serikat sibuk mencari alternatif penggantinya. Selain itu, penggunaan nitrit, yang di Indonesia dikenal dengan sebutan “sendawa” dipersoalkan pula sejak lama, karena memungkinkan timbulnya gangguan terhadap kesehatan konsumen.

Penggunaan sulfit dan nitrit di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan tentang Bahan Tambahan Makanan. Tetapi sejauh ini tidak diketahui apa yang terjadi di masyarakat, karena kurangnya kontrol. Sulfit dapat dengan mudah dibeli di toko-toko bahan kimia dengan sebutan zat pemutih. Kelihatannya bahan ini banyak digunakan oleh industri kecil pangan.

Nitrit lebih mudah lagi diperolehnya, bahkan di warungpun kita dapat membeli “sendawa”. Industri pengolahan daging yang banyak menggunakan bahan ini kelihatannya mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan tersebut. Tetapi ibu-ibu rumah tangga, nampaknya sebagian besar tidak pernah tahu bahwa penggunaan sendawa tersebut ada peraturannya, dan kalau dilanggar dapat berakibat buruk terhadap kesehatan.

Sulfit

Senyawa sulfit sejak lama digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno dan bangsa Romawi telah menggunakan asap hasil pembakaran belerang untuk sanitasi dalam pembuatan anggur.

Asap hasil pembakaran belerang akan mengandung gas belerang dioksida (SO 2), yang kemudian akan larut dalam air membentuk asam sulfit. Kemudian penggunaannya berkembang, dan sulfit digunakan untuk mengawetkan sayuran dan buah-buahan kering, daging serta ikan.

Senyawa-senyawa sulfit yang biasa digunakan berbentuk bubuk kering. Misalnya natrium atau kalium sulfit, natrium atau kalium bisulfit dan natrium atau kalium matabisulfit.

Ada dua tujuan yang diinginkan dari penggunaan sulfit, yaitu: (1) untuk mengawetkan (sebagai senyawa anti mikroba), dan (2) untuk mencegah perubahan warna bahan makanan menjadi kecoklatan.

Umumnya, senyawa sulfit hanya efektif untuk mengawetkan bahan makanan yang bersifat asam, dan tidak efektif untuk bahan makanan yang bersifat netral atau alkalis. Sulfit dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat merusak atau membusukkan bahan makanan dengan tiga macam mekanisme yang berbeda, tetapi pada dasarnya adalah menginaktifkan enzim-enzim yang terkandung dalam mikroba.

Reaksi pencoklatan yang terjadi dalam bahan makanan dapat disebabkan oleh dua macam reaksi, yaitu enzimatis dan non enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis seringkali kita jumpai bila kita mengupas buah apel, salak, pisang atau buah-buahan lain atau juga kentang.

Apabila buah yang sudah dikupas tersebut dibiarkan terkena udara (oksigen), maka akan timbul warna kecoklatan. Reaksi pencoklatan non-enzimatis umumnya terjadi bila kita memasukkan atau mengeringkan bahan makanan. Warna coklat akan timbul akibat terjadinya reaksi antara gula dengan protein atau asam amino.

Sulfit dapat mencegah timbulnya kedua macam reaksi tersebut. Keampuhan sulfit dalam hal mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus mengawetkan belum dapat disaingi oleh bahan kimia lain. Itulah sebabnya mengapa sulfit luas sekali pemakaiannya. Misalnya untuk sayuran dan buah-buahan kering, beku, asinan, manisan, sari buah, konsentrat, pure, sirup, anggur minuman dan bahkan untuk produk-produk daging serta ikan yang dikeringkan.

Keamanan Sulfit

Gas belerang dioksida dan sulfit dalam tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa sulfat yang tidak berbahaya, yang kemudian akan dikeluarkan melalui urin. Mekanisme detoksifikasi ini cukup mampu untuk menangani jumlah sulfit yang termakan.

Itulah sebabnya dalam daftar bahan aditif makanan, sulfit digolongkan sebagai senyawa GRAS (generally recognized as safe) yang berarti aman untuk dikonsumsi.

Namun demikian, dosis penggunaannya dibatasi, karena pada konsentrasi lebih besar dari 500 ppm (bagian per sejuta), rasa makanan akan terpengaruhi. Selain itu, pada dosis tinggi sulfit dapat menyebabkan muntah-muntah. Dan juga senyawa ini dapat menghancurkan vitamin B1. Itulah sebabnya sulfit tidak boleh digunakan pada bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber vitamin B1.

Akibat negatif sulfit yang sekarang ramai didiskusikan oleh para ahli adalah ditemukannya sulfit dapat menimbulkan asma (asthma) pada orang–orang tertentu. Senyawa aktif yang dapat menyebabkan asma tersebut adalah gas belerang dioksida yang terhirup pada waktu mengkonsumsi makanan yang diawetkan dengan sulfit.

Sesuatu hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa sekitar 30-40% anak-anak mempunyai gejala penyakit asma, sedangkan pada orang tua angkanya lebih kecil yaitu sekitar 1-5 persen. Dari jumlah ini, sekitar 25% sensitif trehadap sulfit.

Kemampuan sulfit untuk mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus mengawetkan bahan makanan belum dapat digantikan oleh senyawa kimia lain. Tetapi mengingat efek negatif yang dapat ditimbulkannya bagi kesehatan tubuh, adalah kebijaksanaan untuk mengurangi jumlah penggunaannya.

Di negara-negara Barat (terutama Eropa) hal ini telah lama dilakukan. Pencegahan reaksi pencoklatan dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa eritrobat atau vitamin C yang lebih aman, yang digabungkan dengan penggunaan bahan pengawet lain, misalnya asam atau garam sorbat.

Nitrit

Penggunaan nitrit dalam pengolahan makanan telah sejak lama dilakukan. Hal ini dimulai secara tidak sengaja dengan ditemukannya daging yang diawetkan dengan garam kasar memberikan warna merah cerah setekah dimasak. Kemudian diketahui bahwa nitrat yang terdapat sebagai kotoran dalam garam, bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Pengawetan lebih lanjut memberikan petunjuk bahwa nitrit (yang terbentuk dari nitrat) yang bereaksi dengan pigemen daging, yang membentuk warna merah tersebut. Sejak itu nitrat dan nitrit secara luas digunakan untuk memperoleh warna merah cerah pada produk daging yang diawetkan.

Meskipun pada mulnaya penggunaan nitrat dan nitrit terutama ditujukan untuk memperoleh warna merah pada daging, ternyata senyawa-senyawa ini juga ditemukan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum yang dapat memproduksi racun yang mematikan.

Pada masa kini, nitrat dan nitrit banyak digunakan sebagai pengawet tidak saja pada produk-produk daging, tetapi juga pada ikan dan keju. Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas, karena manfaat nitrit dalam hasil olahan daging (misalnya sosis, kornet, ham dan hamburger), selain sebagai pembentuk warna merah dan pengawet anti mikroba, juga berfungsi sebagai pembentuk faktor sensori lain yaitu aroma dan citarasa (flavor).

Keamanan Nitrit

Penggunaan nitrat dan nitrit dalam makanan dibatasi karena adanya efek meracuni dari kedua zat tersebut. LD (lethal dose = dosis mematikan) rata-rata dari nitrat dan nitrit pada tikus (secara oral) adalah 250 mg/kg berat badan, sedangkan pada anjing adalah 330 mg/kg berat badan.

Umumnya nitrit lebih beracun dibandingkan dengan nitrat, oleh karena itu konsumsi nitrit pada manusia dibatasi sampai 0,4 mg/kg berat badan per hari.

Penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet yang luas penggunaannya, telah menimbulkan kerisuan dengan dipublikasikannya suatu hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa nitrit adalah suatu karsinogen. Akan tetapi akhirnya disimpulkan bahwa hal itu tidak benar.

Namun demikian, akhir-akhir ini penggunaan nitrit sebagai bahan pengawet kembali disoroti oleh banyak ahli, karena adanya bukti-bukti yang menunjukkan bahwa “nitrosamin”, suatu zat karsinogenik, dapat terbentuk dari hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin sekunder yang terdapat dalam bahan makanan (misalnya daging, ikan dan lain-lain).

Hal tersebut telah mendorong para ahli untuk meneliti sejauh mana kemungkinan terbentuknya nitrosamin pada bahan makanan yang diawetkan dengan nitrat dan nitrit, dan sejauh mana nitrosamin yang terbentuk tersebut dapat menimbulkan kanker pada manusia.

Salah satu kelebihan nitrosamin dibandingkan dengan karsinogen lain adalah kepastiannya untuk menimbulkan tumor pada bermacam-macam organ, termasuk hati, gimjal, kandung kemih, paru-paru, lambung, saluran pernafasan, pankreas dan lain-lain.

Konsentrasi nitrat dan nitrit yang diijinkan digunakan dalam makanan berbeda-beda antar negara, tetapi berkisar antara 10 - 200 ppm untuk nitrit dan 500 – 1000 ppm untuk nitrat (Di Indonesia, 500 ppm untuk nitrat dan 200 ppm untuk nitrit).

Akan tetapi mengingat efek negatifnya, yaitu kemungkinan diproduksinya nitrosamin yang bersifat karsinogenik, di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa dosis penggunaannya telah dikurangi sampai sekitar 40 – 50 ppm.

Jumlah nitrit sekitar 50 ppm disertai dengan penggunaan sorbat sebagai pengawet, cukup efektif untuk mengawetkan produk daging. Demikian pula penambahan vitamin C atau vitamin E telah banyak dilakukan pada produk daging yang diawetkan dengan nitrit, karena vitamin-vitamin tersebut ditemukan dapat mencegah terjadinya reaksi pembentukan “nitrosamin”.

Mencegah Keracunan Makanan Siap Santap

Beberapa minggu terakhir berturut-turut diberitakan peristiwa keracunan makanan yang terjadi di perusahaan maupun perhelatan yang diduga disebabkan oleh makanan katering yang disajikan. Peristiwa keracunan makanan siap santap atau siap saji memang seringkali terjadi ketika makanan tersebut dimasak dalam skala besar untuk banyak orang. Di Indonesia, data yang dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular menunjukkan bahwa 30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh makanan siap santap yang dihasilkan oleh jasa katering.

Dengan data yang sangat terbatas, dapat diduga bahwa keracunan makanan jenis ini banyak disebabkan oleh mikroba patogen asal pangan ( foodborne pathogen ). Di negara maju seperti di Amerika Serikat, wabah ( outbreak ) keracunan makanan yang disebabkan oleh patogen asal pangan juga paling banyak (70%) disebabkan oleh makanan siap santap olahan industri jasa boga.

Mengapa Makanan Siap Santap Menyebabkan Keracunan?

Makanan siap santap adalah makanan yang umumnya telah diproses melalui proses pemanasan. Di Indonesia, sebagian besar makanan siap santap diproses dengan panas tinggi dalam waktu yang cukup lama karena pada umumnya masyarakat Indonesia terbiasa menyantap makanan yang benar-benar matang ( well do ne). Kekecualian tentu ada, misalnya pada lalap sayur atau buah mentah. Namun sebagian besar makanan olahan adalah makanan yang telah mengalami proses yang cukup untuk membunuh bakteri patogen bukan pembentuk spora. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar keracunan disebabkan oleh bakteri-bakteri tahan panas yang membentuk spora selama pemasakan. Spora ini dapat bergerminasi ketika makanan mengalami pendinginan dan peritiwa ini didukung oleh pendinginan yang lambat sehingga memerlukan waktu lama untuk mencapai suhu yang aman (4 o C atau lebih rendah). Hal ini menjawab pertanyaan mengapa kebanyakan keracunan makanan siap santap tidak terjadi di rumah-rumah tangga dengan ukuran (jumlah) masakan kecil. Jumlah makanan yang kecil lebih memungkinkan penurunan suhu lebih cepat. Kebiasaan masyarakat Indonesia menyimpan makanan di suhu ruang dan tidak tersedianya sarana pendinginan cepat menyebabkan tumbuh kembalinya bakteri pembentuk spora tersebut.

Keracunan oleh Bakteri Pembentuk Spora

Laporan mengenai kasus keracunan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kasus keracunan pangan oleh patogen paling sering (30%) disebabkan oleh tidak tepatnya proses pendiginan setelah pemasakan. Bakteri-bakteri yang bertahan dan membentuk spora selama pemanasan yang lazim ditemukan pada makanan siap santap misalnya Clostridium perfringens dan Bacillus cereus . C. perfringens yang bergerminasi pada saat pendinginan lambat dan tertelan bersama-sama makanan dapat menginfeksi usus dan menimbulkan gejala khas keracunan seperti diare, mual dan muntah 16-24 jam setelah konsumsi. C. perfrin gens telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui makanan-makanan olahan daging dan gravy . B. cereus yang memperoleh kesempatan bergerminasi pada makanan siap santap dapat tumbuh dan membentuk toksin dalam makanan tersebut. Sedikitnya 2 macam toksin B. cereus yang telah diketahui dapat menyebabkan keracunan yaitu toksin emetik yang menyebabkan muntah 2-6 jam setelah konsumsi dan toksin diare yang menyebabkan diare 12-24 jam setelah konsumsi . B. cereus telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui nasi goreng, puding pati beras dan sebagainya.

Keracunan Makanan oleh Bakteri Patogen Bukan Pembentuk Spora

Kebiasaan makan masyarakan Indonesia yang cenderung mengkonsumsi makanan yang benar-benar matang dan bukan makanan yang dimasak ringan ( medium , rare ) sebenarnya dapat menghindarkan kita dari keracunan yang disebabkan oleh patogen yang tidak membentuk spora. Hal ini disebabkan karena patogen-patogen jenis ini, relatif tidak tahan panas dan dapat dimusnahkan selama proses pemasakan.

Meskipun demikian pada kenyataannya keracunan makanan siap santap kadang-kadang terjadi karena bakteri patogen bukan pembentuk spora ini. Hal ini seringkali terjadi karena kontaminasi silang ( cross contamination ) maupun kontaminasi ulang ( recontamination ) yang terjadi setelah pemasakan pemasakan.

Kotaminasi silang dapat terjadi jika sarana, wadah atau alat pengolahan dan atau penyimpanan digunakan bersama-sama baik untuk bahan mentah maupun bahan yang telah matang. Kontaminasi ulang terutama terjadi karena kurangnya sanitasi dan higiene. Kontaminasi ulang dapat disebabkan karena penggunaan air, sarana, wadah, atau alat penyimpanan yang tercemar serta oleh pekerja yang tidak menjaga kebersihan dirinya.

Bahkan di negara maju, kontaminasi ulang dari pekerja adalah faktor yang cukup sering (13%) berkontribusi pada peristiwa keracunan. Patogen asal pekerja dapat berupa Staphylococcus aureus yang berasal dari rongga mulut, hidung atau tangan pekerja. Jika ada jeda waktu yang cukup antara pemasakan dan konsumsi, S. aureus yang mencemari makanan matang akan tumbuh dan membentuk berbagai enterotoksin. Enterotoksin S. aureus bersifat tahan panas sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pemanasan kembali yang benar sekalipun. Keracunan enterotoksin S. aureus dapat dikenali dengan tanda utama muntah 1-6 jam setelah konsumsi makanan tersebut. Bakteri ini telah dilaporkan menyebabkan keracunan melalui roti lapis daging, pastry berisi krim dan sebagainya.

Cemaran lainnya yang mungkin berasal dari pekerja dapat berasal dari usus yang mencemari secara langsung (melalui tangan) maupun tidak langsung (melalui air) . yang termasuk patogen enterik ini antara lain Salmonella, Escherichia.coli, Vibr io parahaemolyticus, Campylobacter jejuni dan Listeria monocytogenes. Apabila kondisi (kandungan air, pH, aw dan suhu) makanan memungkinkan, maka bakteri ini dapat tumbuh dan berkembang biak dan mungkin mencapai jumlah yang cukup tinggi yang menyebabkan infeksi usus jika dikonsumsi. Keracunan oleh kelompok bakteri ini ditandai dengan lebih lamanya (12-48 jam) jangka waktu antara konsumsi dan munculnya gejala-gejala penyakit yang umumnya terdiri dari diare, mual, muntah (kadang-kadang) dan demam (kadang-kadang). Bakteri-baktei ini telah diketahui sebagai penyebab berbagai wabah keracunan besar, misalnya E.coli O157:H7 pada hamburger, L. monocytogenes pada keju lunak dan salad kubis, C. jejuni pada makanan sala ternak dan sebagainya.

Investigasi Keracunan Makanan

Jenis-jenis keracunan yang dilaporkan di Indonesia pada umumnya adalah keracunan makanan dengan skenario konvensional. Ciri-ciri keracunan dengan skenario ini adalah terjadi pada acara sosial yang dihadiri banyak orang, banyak korban, keracunan bersifat akut namun meliputi daerah yang terbatas (lokal), jumlah patogen tinggi, sering disebabkan oleh kesalahan dalam penangan makanan. Apabila sisa makanan masih tersedia maka investigasi keracunan jenis ini relatif lebih mudah dilakukan karena korban umumnya dapat dilacak kembali dan diambil sampel klinisnya untuk pengujian lebih lanjut. Demikian juga studi epidemiologi secara case-control maupun secara cohort mungkin dilakukan karena identitas korban maupun orang-orang yang hadir dalam acara sosial tersebut mudah diketahui. Sumberdaya manusia yang cukup dan laboratorium uji yang baik akan sangat menentukan keberhasilan investigasi.

Investigasi akan lebih sukar dijalankan pada keracunan atau wabah yang mengikuti skenario baru. Keracunan dengan skenario baru umumnya ditandai dengan ciri ciri sebagai berikut : tersebar luas, disebabkan oleh kontaminasi dalam jumlah rendah, disebabkan oleh makanan yang dijual dalam jangkauan yang lebih luas, dan peningkatan jumlah kasus tidak nyata. Investigasi keracunan ini umumnya hanya dapat disimpulkan dari suatu data surveilan penyakit atau laboratorium.

Bagaimanan Mencegahnya?

Investigasi yang baik dapat mengidentifikasi patogen dan makanan penyebab keracunan serta tahap pengolahan yang bertanggung jawab terhadap terjadinya penyimpangan pada produk makanan. Dengan demikian dari kasus-kasus keracunan dapat dipelajari, misalnya, kelompok mikroba yang mana yang paling sering menyebabkan keracunan. Apabila mikroba pembentuk spora yang dominan, maka permasalahan utama terletak pada proses pendinginan setelah pemasakan. Sebaliknya apabila bakteri patogen enterik bukan pembentuk spora yang sering menjadi penyebab, berarti permasalahannya adalah kontaminasi setelah pemasakan terjadi. Meskipun pemasakan tidak sempurna ( underprocessing ) mungkin menjadi penyebab keracunan oleh patogen bukan pembentuk spora, tetapi untuk kebanyakan jenis makanan di Indonesia penyebab ini peluangnya kecil.

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora terutama dapat diatasi dengan pendinginan cepat, dimana makanan yang usai dimasak sesegera mungkin dibawa ke suhu di bawah 4 o C jika tidak langsung dikonsumsi. Untuk jumlah makanan yang besar maka sebaiknya diusahakan dapat mencapai suhu 31.5 o C dalam waktu 2 jam dan mencapai 4 o C dalam 4 jam berikutnya. Ketika jumlah makanan yang dimasak sangat besar maka penurunan suhu yang cepat sukar dicapai. Untuk itu pendinginan dapat dibantu derngan meletakkan makanan dalam wadah diatas sink atau ember berisi es, menambahkan garam pada es yang digunakan untuk mendinginkan makanan, menggunakan pengaduk bersih yang dibekukan, mengaduk makanan setiap 15 menit, menggunakan panci yang dangkal dan tidak menyimpan makanan di dalam panci dengan ketebalan lebih dari 5 cm (untuk makanan yang encer, misalnya soto) atau lebih dari 2.5 cm (untuk makanan yang kental, seperti kari), atau meletakkan makanan dalam kantong plastik dan direndam dalam air es. Jika dana memungkinkan maka disarankan untuk membeli blast chiller .

Keracunan oleh bakteri pembentuk spora dapat juga diatasi dengan memasak dalam waktu yang dekat dengan waktu penyajian. Pendeknya rentang waktu akan membatasi terjadinya germinasi spora. Disamping itu sel yang bergerminasi dapat dikurangi dengan cara memanaskan kembali makanan sebelum dikonsumsi. Untuk itu maka pemanasan kembali harus dilakukan sehingga suhu makanan siap santap mencapai 60 o C atau lebih, karena suhu pemanasan kembali yang tidak cukup dapat merangsang germinasi spora.

Pencegahan keracunan oleh bakteri bukan pembentuk spora dilakukan dengan tujuan untuk mencegah kontaminasi silang maupun kontaminasi ulang. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang dapat menghindarkan kontaminasi silang. Pemanasan kembali dengan suhu yang cukup hanya dapat menghilangkan bakteri enterik tetapi tidak dapat menginaktifkan enterotoksin yang telah terlanjur terbentuk oleh S. aureus . Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene yang baik pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasan-kebiasaan pekerja.

Mungkinkah Makanan Dan Minuman

Pada waktu ini seringkali terlihat pada label-label makanan kalengan atau minuman dalam karton kalimat “tanpa bahan pengawet”. Pihak produsen sengaja mencantumkan hal itu, karena umumnya konsumen sangat awam terhadap apa itu bahan pengawet dan selalu mengasosiasikan sebagai bahan yang beracun, sehingga cara ini akan memperlancar penjualan produknya.

Akan tetapi ada pula segolongan konsumen yang tidak percaya akan kebenaran tulisan dalam label tersebut. Mereka berpikir jangan-jangan ini hanya merupakan akal produsen supaya produknya lebih laku, padahal didalamnya tetap mengandung bahan pengawet.

Terlepas dari benar tidaknya kalimat yang terdapat dalam label makanan/minuman tersebut, tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dalam judul diatas.

Pengawetan Dengan Panas

Pengawetan makanan/minuman dapat dilakukan dengan berbagai macam cara : pendinginan/pembekuan, pengeringan, pengasapan, penggaraman, pemanasan (pasteurisasi, sterilisasi) dan penambahan bahan pengawet kimia. Semua cara tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menhancurkan atau mengahmbat pertumbuhan mikroba pembusuk. Dalam hal makanan kaleng atau minuman dalam karton, maka cara pengawetan yang dilakukan adalah dengan proses pemanasan (sterilisasi).

Pengertian sterilisasi disini harus dibedakan dengan istilah steril dalam bidang medis (yaitu bebas kuman), sehingga sering disebut dengan istilah sterilisasi komersial. Dalam proses sterilisasi komersial tersebut, bahan pangan dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, sehingga semua mikroba patogen dan pembusuk dapat dihancurkan. Di dalam makanan kalengan atau minuman dalam karton yang diproses dengan baik dan benar tidak akan terdapat lagi mikroba yang membahayakan kesehatan konsumen, meskipun di dalamnya masih terdapat beberapa jenis mikroba yang tahan panas.

Umumnya makanan kaleng disterilkan dengan cara konvensional sebagai berikut : bahan pangan yang telah bersih dimasukkan ke dalam kaleng, kemudian ditambahkan medium cair (sirop, larutan garam, kaldu atau saus); setelah dipanaskan sebentar kemudian kalengnya ditutup rapat. Selanjutnya dipanaskan pada suhu tinggi di dalam autoclave atau retort selama waktu tertentu, lalu segera didinginkan dalam air dingin, dikeringkan, dan akhirnya diberi label.

Sedangkan minuman dalam karton disterilkan dengan cara yang disebut sebagai aseptic canning. Berbeda dengan cara konvensional di atas, dalam proses aseptik ini wadah (karton) dan minuman masing-masing disterilkan (dipanaskan) secara terpisah, kemudian dalam suatu ruangan yang steril minuman tadi dimasukkan kedalam karton dan ditutup rapat. Cara aseptik ini seringkali disebut juga sebagai proses UHT (ultra high temperature), karena minuman dipanaskan pada suhu yang sangat tinggi selama beberapa detik.

Penutupan kaleng atau karton tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga baik udara, air maupun mikroba dari luar tidak dapat masuk (menembus) ke dalam, sehingga keawetannya dapat dipertahankan.

Pada industri pengolah yang baik, makanan kaleng atau minuman dalam karton tidak akan dilemparkan ke pasaran sebelum dilakukan pengamatan apakah proses sterilisasinya baik atau tidak. Hal ini dilakukan dengan cara menyimpan produk selama dua minggu, dan selama itu dilakukan pengamatan apakah terdapat produk yang rusak/busuk atau tidak.

Bahan Pengawet

Proses sterilisasi yag dilakukan terhadap makanan kaleng atau minuman dalam karton sudah cukup menghasilkan untuk menghasilkan produk yang awet atau tahan lama disimpan tanpa mengalami pembusukan. Sehingga tidak alasan untuk menambahkan bahan pengawet ke dalamnya. Apabila ada industri pengolah yang menambahkan bahan pengawet, hal ini berarti pihak industri tersebut kurang memahami makna proses sterilisasi.

Dalam beberapa hal atau untuk produk tertentu, biasa juga dilakukan penambahan bahan pengawet. Sebagai contoh, asam sitrat seringkali ditambahakan ke dalam minuman atau buah/sayuran dalam kaleng. Hal ini dilakukan selain untuk menambah citarasa, juga untuk meningkatkan keasaman produk agar daya tahan mikroba terhadap panas menjadi rendah, sehingga proses sterilisasi dapat dilakukan pada suhu yang lebih rendah atau waktu yang lebih singkat. Hal ini penting agar mutu produk tetap terjaga (tidak over cooking). Asam sitrat tergolong aditif makanan yang aman untuk di konsumsi (oleh FDA digolongkan sebagai GRAS = generally recognized as cafe).

Selain itu, untuk produk olahan daging atau ikan biasa juga ditambahkan garam nitrat/nitrit (terutama produk olahan daging yang diinginkan warnanya kemerahan, misalnya corned beef = korned). Penambahan nitrat/nitrit ini selain untuk “memerahkan” produk daging, juga ditujukan untuk menghancurkan salah satu bakteri tahan panas yang dapat memproduksi racun, yaitu Clostridium botulinum. Selama dosis nitrat /nitrit yang digunakan memenuhi peraturan yang berlaku (untuk Indonesia : Peraturan Menteri Kesehatan), tidak usah ada kekhawatiran bahan pengawet tersebut akan meracuni tubuh.

Dari uraian tersebut terjawablah pertanyaan di atas yaitu, makanan kamleng atau minuman dalam karton tidsk mengandung bahan pengawet merupakan hal yang cukup wajar, karena proses pengawetannya tidak dilakukan oleh bahan pengawet kimia tetapi oleh proses sterilisasi (menggunakan pemanasan).

Hanya dalam produk tertentu (hasil olahan daging) biasa ditambahkan garam nitrat/nitrit. Asam sitrat seringkali juga ditambahkan ke dalam minuman dan sayuran/buah dalam karton/kaleng, tetapi segi keamanannya bagi tubuh cukup terjamin. ****

KERACUNAN SODIUM NITRIT

Sesungguhnya sodium nitrit tersebut tergolong bahan pengawet makanan yang juga diizinkan penggunaannya di Indonesia (cq Peraturan Menteri Kesehatan RI tahun 1979), namun jumlah yang diizinkan terdapat dalam makanan juga dibatasi.

Beberapa hal yang patut mendapat perhatian sehubungan dengan kasus keracunan tersebut di atas, antara lain : pertama pada waktu ini “sendawa” (saltpeter) dijual bebas dan dapat diperoleh di super market, toko-toko maupun warung-warung. Bahan ini terdiri dari campuran garam nitrat dan nitrit, dan banyak digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga untuk keperluan mengawetkan daging. Sedangkan ibu-ibu rumah tangga tersebut tidak pernah mengetahui berapa takaran (dosis) pemakaian agar terhindar dari keracunan nitrit, karena pada labelnya tidak diutarakan cara penggunaannya.

Masalah kedua adalah, nitrit juga dapat terbentuk dalam sayur-sayuran yang kaya akan senyawa nitrat, misalnya bayam. Sehingga tanpa pengetahuan tentang hal tersebut, keracunan oleh nitrit dapat juga terjadi, misalnya yang pernah terjadi pada bayi (anak kecil) yang diberi sayur bayam yang telah diinapkan semalam, di mana selama penyimpanan tersebut senyawa nitrat akan diubah oleh nitrit oleh bakteri.

Mekanisme Keracunan

Nitrit adalah senyawa nitrogen dan oksigen (NO 2 atau nitrogen oksida), sedangkan sodium nitrit adalah garam natrium (sodium) dari nitrit tersebut (NaNO 2). Senyawa aktif dari sodium nitrit adalah NO, yang dapat terbentuk apabila sodium nitrit dilarutkan.

Dalam pengawetan daging, NO tersebut akan bergabung dengan pigmen daging (yang disebut mioglobin), membentuk “nitrosomioglobin”, sehingga daging menjadi berwarna merah cerah (misalnya seperti yang kita temukan pada kornet). Mekanisme keracunan nitrit dalam tubuh dapat dianalogikan dengan reaksi tersebut.

Hemoglobin adalah pigmen darah merah yang berfungsi untuk mengikat oksigen dari paru-paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh kita. Dalam proses ini akan terbentuk apa yang disebut oksihemoglobin, sehingga darah segar terlihat berwarna merah cerah. Fungsi oksigen sendiri adalah untuk melaksanakan proses metabolisme (oksidasi) dalam tubuh, misalnya oksidasi gula untuk menghasilkan energi yang diperlukan oleh tubuh kita.

Apabila darah keluar dari urat darah (misalnya karena terluka), maka darah yang tadinya berwarna merah cerah akan berubah menjadi kecoklatan karena adanya kontak dengan oksigen dari udara. Dalam hal ini yang terjadi adalah oksidasi hemoglobin oleh oksigen (bukan pengikatan oksigen oleh hemoglobin seperti yang terjadi dalam tubuh kita).

Apabila ke dalam tubuh kita masuk nitrit (melalui konsumsi makanan), maka di dalam tubuh akan terbentuk NO seperti yang telah disebutkan di atas. Apabila nitrit yang terkonsumsi jumlahnya banyak, maka NO yang terbentuk juga banyak. NO tersebut adalah dapat bergabung dengan hemoglobin membentuk nitrosohemoglobin, seperti halnya yang terjadi pada pigmen daging.

Akibatnya hemoglobin tersebut tidak mampu lagi mengikat oksigen, sebab telah mengikat NO tersebut. Akibat lebih lanjut adalah tubuh kekurangan oksigen, sehingga akhirnya akan mengakibatkan terjadinya kematian. Kekurangan oksigen tersebut nampak pada korban yang menjadi kebiru-biruan.

Dosis Aman

Karena nitrit dapat terbentuk dari nitrat sedangkan zat aktifnya adalah NO, maka umumnya nitrit lebih beracun dibandingkan dengan nitrat. LD (lethal dose=dosis mematikan) nitrit yang diuji pada tikus percobaan adalah 250 mg per kilogram berat badan, sedangkan pada anjing adalah 330 mg per kilogram berat badan. Untuk keamanan, konsumsi nitrit pada manusia dibatasi sampai 0,4 mg/kg berat badan per hari.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.235/Men.Kes./VI/79 tentang Bahan Tambahan Makanan, ditetapkan bahwa konsentrasi nitrat (dalam bentuk garam natrium atau kalium) untuk mengawetkan

ASPEK KEAMANAN MSG BAGI TUBUH

Tulisan ini dibuat bukan untuk memperkeruh situasi, bahkan sebaliknya ingin menempatkan permasalahan pada tempatnya. Demikian pula tulisan ini tidak menyinggung masalah halal atau haramnya MSG (monosodium glutamate), karena pihak Majelis Ulama Indonesialah yang berwenang untuk itu. Yang akan dikemukakan adalah mengenai keamanan MSG bagi tubuh karena masih adaya kontroversi mengenai hal ini.

Tentu saja tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memihak kepada kepentingan siapa pun karena yang akan dikemukakan adalah kesimpulan hasil-hasil penelitian dari lembaga-lembaga yang sangat berkompeten mengenai status MSG sebagai salah satu bahan tambahan pangan (food additive), yang sangat perlu diketahui oleh masyarakat.

Apakah MSG?

MSG adalah garam natrium (sodium) dari asam glutamat (salah satu asam amino non esensial penyusun protein). MSG dijual sebagai kristal halus berwarna putih dan penampakannya mirip gula pasir atau garam dapur. MSG tidak mempunyai rasa, tetapi mempunyai fungsi sebagai penegas cita rasa (flavor enhancer) makanan. Sebagian besar peneliti meyakini bahwa MSG menstimulasi reseptor glutamat yang terdapat pada lidah untuk menegaskan cita rasa daging (meat like flavor). Akan tetapi yang berperan dalam hal itu adalah glutamat dalam bentuk bebas (asam glutamat), bukan sebagai garam natrium (MSG).

Dahulu orang-orang di Asia menggunakan kaldu rumput laut untuk memperoleh efek penegas cita rasa MSG. Akan tetapi, sekarang MSG diperoleh secara proses fermentasi dari bahan dasar pati, gula (bit atau tebu) atau molasses (tetes). Glutamat terdapat secara alami di dalam tubuh kita dan juga terdapat di dalam bahan pangan atau makanan yang mengandung protein seperti susu, keju, daging, kacang-kacangan, dan jamur.

Dalam usus, MSG dicerna menjadi asam glutamat bebas, sedangkan natrium akan bereaksi dengan klorida membentuk garam (NaCl). Selanjutnya asam glutamat diserap oleh usus dan dimetabolisme di dalam tubuh seperti halnya asam amino lainnya yang berasal dari protein makanan. Di dalam tubuh glutamat mempunyai peranan penting untuk berfungsinya sistem syaraf secara normal.

Regulasi Penggunaan MSG

Seperti telah disebutkan di atas, MSG merupakan salah satu bahan tambahan pangan (BTP). Di Indonesia regulasi mengenai penggunaan bahan tambahan pangan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM), Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

Peraturan tentang penggunaan BTP yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (cq Peraturan Menteri Kesehatan), mengacu pada peraturan-peraturan yang bersifat internasional seperti yang dikeluarkan oleh WHO (World Health Organization), Codex Alimentarius dari FAO (Food and Agriculture Organization) dan juga dari US-FDA (United States, Food and Drug Administration) serta peraturan-peraturan tentang BTP dari negar-negara lain di Eropa, Kanada, Australia dan lain-lain. US-FDA dikenal sebagai badan pengawasan obat dan makanan yang sangat keras dalam hal pelaksanaan peraturannya, sehingga peraturannya banyak ditiru oleh negara-negara lain termasuk Indonesia.

Berikut ini adalah ulasan ilmiah (scientific review) tentang MSG dari US-FDA, American Medical Association (AMA), Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), European Communities (EC) Scientific Committee for Food, serta dari Joint Experts Committee on Food Additives (JECFA)-FAO dan dari WHO, Status Keamanan MSG.

Pada tahun 1959, US-FDA mengklasifikasikan MSG sebagai senyawa yang tergolong GRAS (generally recognized as safe), sama halnya seperti ingredient pangan yang umum digunakan misalnya garam dapur, cuka, dan baking powder. Hal ini berdasarkan sejarah penggunaan MSG selama sekian waktu sebelumnya yang menunjukkan bahwa MSG yang dikonsumsi dalam jumlah yang wajar tidak memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan, dengan kata lain aman untuk dikonsumsi.

Sejak tahun 1970, US-FDA mensponsori penelitian mengenai kemanan MSG, senyawa glutamat lain dan protein hidrolisat untuk meneliti ulang tentang status MSG yang dinyatakan sebagi senyawa GRAS. Pada tahun 1986, Advisory Committee on Hypersentivity to Food Constituents dari US-FDA menyimpulkan bahwa MSG tidak menunjukkan pengaruh merugikan bagi kesehatan masyarakat, tetapi reaksi dalam waktu singkat dapat terjadi pada beberapa orang tertentu. Pada tahun 1987, JECFA-FAO dan WHO menempatkan MSG dalam kategori ingredient pangan yang paling aman (the safest category of food ingredients).

Laporan dari EC Scientific Committee for Foods, pada tahun 1991, memperkuat pernyataan tentang keamanan MSG dan mengklasifikasikan acceptable daily intake (ADI) MSG sebagai not specified. Istilah not specified untuk ADI Menunjukkan bahwa MSG sebagai ingredient pangan benar-benar aman bagi tubuh (the most favorable disignation for a food ingredient). Sebagai tambahan, EC Committee menyebutkan bahwa anak-anak kecil (infants) juga dapat memetabolisasi glutamat seefisien orang dewasa.

Laporan dari the Council on Scientific Affairs of the American Medical Association pada tahun 1992, menyebutkan bahwa glutamat dalam bentuk bebas atau dalam bentuk garam (MSG) tidak memberikan pengaruh negatif bagi kesehatan (has not been shown to be a “significant health hazard”).

Laporan dari the Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) pada tahun 1995 antara lain menyebutkan bahwa pertama, sejumlah orang tertentu (an unknown percentage of the population) dapat bereaksi terhadap MSG dan menimbulkan gejala seperti sakit kepala, mual-mual, dan jantung berdebar. Akan tetapi gejala tersebut terutama terjadi pada orang yang mengkonsumsi MSG dalam jumlah banyak (3 g atau lebih) dengan kondisi perut kosong (tanpa disertai makanan lain). Untuk diketahui, normalnya satu sajian makanan diberi tambahan MSG kurang dari 0,5 g; dan kedua, MSG tidak terbukti berkontribusi pada timbulnya penyakit alzheimer dan penyakit kronis lainnya.

Walaupun terdapat beberapa hasil penelitian menggunakan hewan percobaan, baik di Indonesia maupun di luar negeri yang menunjukkan pengaruh negatif dari MSG bagi hewan tersebut namun data di atas menunjukkan bahwa berbagai lembaga yang sangat kompeten baik di Amerika Serikat maupun di Eropa, dan bahkan badan-badan dunia seperti FAO dan WHO, mengklasifikasikan MSG sebagai bahan tambahan pangan yang aman untuk dikonsumsi.

Bahan Tambahan Kimiawi dalam Makanan

Aditif makanan (food additives) atau dikenal dengan istilah lain: bahan tambahan makanan, bahan tambahan kimia untuk makanan atau bahan tambahan kimiawi, mulai hangat lagi dibicarakan dalam seminar-seminar yang kemudian dilansir oleh media massa. Patut disayangkan, yang menonjol dalam berita-berita di surat kabar hanya segi negatifnya saja: keracunan, timbulnya penyakit, kanker, dan sebagainya, hingga orang awam akan menyimpulkan betapa merugikannya bahan-bahan tersebut, dan tanpa diskriminasi akan menganggap bahwa semua bahan kimia yang ditambahkan ke dalam makanan adalah berbahaya (beracun).

Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam penggunaan aditif makanan di Indonesia sehingga timbulnya kasus-kasus seperti di atas, adalah terutama karena penggunaan bahan-bahan kimia yang tidak semestinya. Sebagai contoh: penggunaan pewarna tekstil untuk makanan, penggunaan bahan kimia bukan aditif makanan sebagai pengawet, contohnya formalin, borax, terusi dan sebagainya. Kita belum mengetahui dengan pasti, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah tersebut.

Beberapa hal yang dapat dikemukakan antara lain: (1) ketidaktahuan produsen makanan, (2) kurang ketatnya pengawasan, (3) harga aditif makanan yang relatif masih mahal; karena kalau kita kaji lebih mendalam, kasus-kasus semacam di atas timbul dari produk-produk industri kecil (rumah tangga).

Untuk lebih mengenal tentang apa dan bagaimana aditif makanan, dalam tulisan ini akan dibahas peran positifnya dalam industri pangan. Dengan demikian diharapkan tidak akan terjadi kebingungan pihak awam mengenai aditif makanan.

Keinginan konsumen

Sesungguhnya penggunaan aditif makanan dalam industri pangan didasarkan atas kebutuhan dan keinginan konsumen. Apa yang dikonsumsi seseorang lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor budaya, psikologi dan nilai sosialnya daripada karena faktor gizi dan kesehatan. Salah satu fungsi dan tanggung jawab pihak industri pangan adalah memasak makanan yang sehat dan memenuhi faktor etnis, dan memproduksi makanan yang secara visual dan organoleptik menarik perhatian konsumen.

Meski kita berpegang pada prinsip makan dan minum untuk hidup, tetapi tidak dapat disangkal, kenikmatan hidup yang paling besar adalah makan dan minum. Mungkin semua orang akan setuju, sesuatu yang menakutkan bila terjadi makanan yang harus kita konsumsi hanya berupa konsentrat zat-zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup, tanpa bentuk, tanpa warna dan tanpa cita rasa sama sekali.

Aditif makanan telah dikembangkan untuk memberi bermacam-macam fungsi, sehingga konsumen dapat memilih makanan yang menarik, enak rasanya, aman bagi tubuh, menyehatkan dan menyenangkan. Definisi mengenai aditif makanan berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya, tetapi yang paling dapat diterima semua pihak adalah sebagai berikut: suatu aditif makanan adalah suatu zat atau campuran zat, selain bahan dasar pengan, yang terdapat dalam makanan sebagai hasil dari aspek-aspek produksi, pengolahan, penyimpanan atau pengepakan. Jadi dalam hal ini yang tergolong sebagai aditif makanan hanyalah zat-zat yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan, dan tidak termasuk zat-zat kontaminan.

Setiap aditif yang digunakan dalam pengolahan makanan mempunyai satu atau lebih kegunaan. Misalnya meningkatkan nilai gizi, menghambat kebusukan, atau memberikan tekstur dan sifat-sifat fisik yang unik. Contoh dan fungsi beberapa macam aditif makanan adalah sebagai berikut:

1. Antioksidan, untuk mencegah rusaknya zat-zat gizi, warna dan cita rasa:

- BHT dan BHA ditambahkan pada keripik kentang untuk mencegah ketengikan.

- Vitamin C ditambahkan ke dalam buah-buahan dalam kaleng untuk meningkatkan nilai gizi dan mencegah pencoklatan.

2. Bahan pengawet untuk mencegah kebusukan:

- Asam sorbat atau kalium sorbat ditambahkan ke dalam keju untuk mencegah pertumbuhan jamur; atau kalsium propionat ditambahkan pada roti untuk tujuan yang sama.

3. Bahan pengalir untuk mencegah penggumpalan dan pengerasan:

- Trikalsium fosfat ditambahkan ke dalam garam dapur sehingga memudahkan keluar dari wadahnya.

4. Bahan pengasam, penambah cita rasa, pewarna dan pemanis untuk meningkatkan estetika makanan:

- Asam sitrat, minyak jeruk dan zat pewarna oranye diformulasikan ke dalam makanan untuk memberikan cita rasa yang enak dan penampakan yang menarik.

Ini adalah hanya sedikit contoh bagaimana aditif makanan dapat berperan membantu dalam proses pengolahan makanan.

Aditif makanan memberi banyak kemungkinan bagi industri pangan untuk memproduksi bermacam-macam makanan dan minuman yang diinginkan oleh konsumen. Kata “makanan fabrikasi” ditujukan bagi makanan yang diformulasi dari bahan-bahan dasar terpilih serta aditif makanan yang sesuai, untuk memperoleh produk akhir dengan sifat-sifat fisiko-kimia atau nilai gizi yang diinginkan. Makanan seperti ini dapat dibuat mirip seperti aslinya, contohnya minuman jeruk untuk simulasi sari jeruk.

Umumnya kontribusi utama aditif makanan adalah memberikan kemudahan, mungkin dalam hal penyimpanan makanan, penyiapan atau waktu mengkonsumsinya. Tetapi, makanan fabrikasi mungkin juga mempunyai sifat-sifat khusus, misalnya rendah kalori untuk orang yang ingin mempertahankan berat badannya, mempunyai kadar vitamin yang tinggi bagi orang yang membutuhkan tambahan vitamin, atau rendah kandungan karbohidratnya bagi penderita diabetes.

Hubungan dengan gizi

Pertanyaan selalu dilontarkan mengenai hubungan antara gizi dan kesehatan dengan penggunaan aditif dalam makanan. Sesungguhnya hal ini sangat penting, tetapi memerlukan pembahasan yang sangat mendalam. Kita ambil saja beberapa contoh sederhana. Meskipun pengolahan menggunakan panas (sterilisasi), pengeringan atau pembekuan sangat membantu dalam mencegah kontaminasi mikroba yang berbahaya, tetapi cara-cara tersebut bukan merupakan jawaban yang definitif.

Residu spora bakteri Clostridium botulinum dapat memproduksi racun yang mematikan dalam makanan kaleng bila keasamannya tidak diturunkan dengan penambahan bahan pengasam (misalnya asam sitrat, asam sorbat), atau bila bahan pengawet (misalnya nitrat dan nitrit atau lebih dikenal dengan sebutan sendawa) tidak digunakan pada daging.

Suhu pemanggangan dalam pembuatan roti tidak cukup untuk membunuh spora bakteri Bacillus subtilis. Pada suhu ruang bakteri ini akan aktif membusukkan roti sehingga akhirnya tidak dapat dimakan lagi. Oleh sebab itu propionat biasa ditambahkan ke dalam roti sebagai bahan pengawet.

Jamur yang tumbuh pada kacang-kacang (kacang tanah) atau serealia dapat memproduksi aflatoxin (racun penyebab kanker hati), bila bahan-bahan tersebut disimpan dalam keadaan kurang kering atau bila tidak digunakan bahan pengawet anti jamur.

Semua bahan pangan mulai kehilangan nilai gizinya setelah dipanen. Proses pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan dapat lebih lanjut menurunkan nilai gizinya. Suplementasi vitamin dan mineral dalam hal ini dapat mengembalikan nilai gizi bahan pangan tersebut.

Pemanis buatan dapat menggantikan gula untuk penderita diabetes dan kegemukan. Kalsium fosfat dan kalsium karbonat yang ditambahkan ke dalam makanan dapat mencegah defisiensi kalsium bagi orang yang tidak biasa minum susu sapi.

Minyak nabati tidak jenuh digunakan dalam makanan bagi orang yang ingin menurunkan kadar kholesterol dalam darahnya. Minyak seperti ini karena derajat ketidak-jenuhannya tinggi, sangat mudah teroksidasi oleh udara. Oleh karena itu antioksidan digunakan untuk mencegah ketengikan.

Bermanfaat

Penggunaan aditif makanan dengan demikian tidak saja dapat memperbaiki penampakan, cita rasa dan mempertahankan mutu, tetapi juga mengawetkan. Bahkan dapt mempertinggi nilai gizi makanan seperti misalnya bila vitamin C, karoten atau vitamin E digunakan sebagai antioksidan.

Pernyataan bahwa aditif makanan dapat digunakan oleh para industriawan untuk menutupi mutu makanan yang jelek menjadi baik, adalah suatu anggapan yang salah. Suatu aditif makanan tidak akan dapat membuat/mengubah mutu makanan yang jelek menjadi baik, tetapi aditif dapat mencegah/menghambat kerusakan sesuatu makanan yang bermutu baik.

Dalam usaha mengikuti perkembangan industri pangan di Indonesia yang semakin meningkat, peranan aditif makanan semakin perlu mendapat perhatian, terutama yang menyangkut penggunaan yang tidak semestinya. Pemilihan bahan yang tepat, sesuai dengan sifat fungsional yang diharapkan, terutama yang tidak mempunyai dampak terhadap kesehatan/keselamatan konsumen, merupakan masalah yang dihadapi para industriawan pangan. Demikian pula perkembangan ilmu dan teknologi pangan, terutama yang menyangkut penemuan-penemuan baru mengenai aditif makanan, merupakan hal yang perlu diperhatikan karena merupakan masukan yang positif bagi pengembangan industri pangan di Indonesia.

bakteri asam laktat

Bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat berpotensi sebagai pengawet tahu. Dengan bakteriosin sebagai agensia penggumpal dan sekaligus pengawet, diharapkan masa simpan tahu dapat diperpanjang.

Hal itu dikemukakan Prof Dr Endang Sutriswati Rahayu dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, UGM, dengan judul 'Prospek Bakteri Asam Laktat Hasil Rekayasa Genetika Bidang Industri Pangan', di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (27/8).

Ia mengungkapkan bahwa tahu 'KITA' yang diproduksi oleh Koperasi Alumni Teknologi Pertanian UGM menerapkan proses pasteurisasi pada tahu murni yang dihasilkan. Kemudian, dilanjutkan dengan penyimpanan dingin saat distribusi dan sebelum dikonsumsi.

''Dengan memanfaatkan bakteri asam laktat penghasil bakteriosin sebagai agensia penggumpal dan sekaligus pengawet, diharapkan masa simpan tahu dapat diperpanjang. Potensi bakteriosin sebagai pengawet saat ini secara intensif sedang diteliti di Fakultas Teknologi Pertanian UGM bekerja sama dengan produsen tahu KITA,'' tuturnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, bakteriosin memiliki potensi sebagai pengawet alami (biopreservasi) untuk menggantikan penggunaan pengawet kimia pada bahan makanan. Nisin adalah bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactococcus lactis dan telah dinyatakan aman penggunaan oleh Badan Pangan Dunia (FAO/WHO) sebagai pengawet alami. Bakteriosin ini telah diaplikasikan pada produk pangan pasteurisasi (keju dan susu), produk pangan sterilisasi berkadar asam rendah (makanan kaleng), produk pangan asam (yogurt dan salad dressing), produk pangan kemas vakum dan modifikasi atmosfir (slice meat, sosis, smoked fish), serta minuman beralkohol. Berbagai negara telah mengeluarkan peraturan tentang level nisin sebagai pengawet makanan.

Pengujian bakteri asam laktat penghasil bakteriosin non-nisin, karakterisasi dan aplikasinya sebagai agensia pengawet juga telah banyak dilakukan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Pediococcus acidilactici F-11 merupakan bakteri asam laktat penghasil bakteriosin yang potensial dibandingkan dengan isolat-isolat lainnya. Bakteriosin yang dihasilkan dari bakteri ini dapat menekan pertumbuhan bakteri pada susu pasteurisasi yang disimpan dingin. Bakteriosin yang dikombinasi sodium diasetat dan sodium laktat ternyata juga dapat menekan Listeria monocytogenes dalam daging yang disimpan pada suhu rendah.

Bahkan, kata Trisye, biomass Pediococcus acidilactici F-11 penghasil bakteriosin yang disemprotkan pada sayuran segar, khususnya paprika dan wortel yang disimpan dingin dapat menekan pertumbuhan Staphylococcus aureus. Pengembangan bakteri asam laktat penghasil bakteriosin sebagai kultur starter untuk memperbaiki produk fermentasi berbasis susu dan ikan juga telah dilakukan. Telah dilaporkan bahwa selama berlangsungnya proses fermentasi ikan menggunakan starter penghasil bakteriosin, populasi Coliform dapat ditekan.

Di bagian lain ia mengatakan, bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dapat ditingkatkan produksinya melalui rekayasa genetika. Sehingga, biaya produksi dapat ditekan dan bakteriosin dengan harga yang murah dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil menengah sebagai alternatif pengawet alami. ''Produk pangan hasil rekayasa genetika bukan ancaman bagi kita semua. Namun, kita perlu memahami dengan benar agar dapat kita manfaatkan untuk kesejahteraan kita semua,''

6 June 2008

Seputar Tentang Prebiotik

I.Pendahuluan
Laporan The National Cancer Institute tahun 1999 yang disitasi oleh Brady et al. (2000) menyatakan bahwa sejak tahun 1990 hingga tahun 1996 , terdapat empat jenis kanker yaitu paru-paru, prostat, payudara dan kolon, yang menempati lebih dari setengah kasus kanker yang terjadi, dan juga yang menyebabkan kematian. Kanker kolon merupakan kanker yang menempati urutan kedua terbanyak yang menyebabkan kematian setelah kanker paru-paru. The American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2001 ini dari sebanyak 135.400 kasus yang terdiagnosa, sebanyak 56.700 berakhir dengan kematian. Keterlambatan penanganan kasus kanker kolon dikarenakan gejala awal kanker kolon seringkali dianggap seperti sakit perut biasa.
Selain faktor genetik (keturunan), resiko terkena kanker kolon meningkat pada umur lanjut (diatas 50 tahun), menerapkan pola makan yang salah (tinggi lemak dan kurang serat makanan), serta mengalami radang usus besar (ulcerative colitis). Pola makan merupakan salah satu faktor yang dapat dikontrol. Resiko terkena kanker kolon dapat diturunkan dengan cara peningkatan konsumsi serat makanan (termasuk prebiotik), penurunan konsumsi lemak dan peningkatan konsumsi probiotik.
Pangan probiotik merupakan pangan (makanan/minuman) yang mengandung sejumlah bakteri hidup yang memberi efek yang menguntungkan kesehatan. Pangan probiotik yang telah lama dikenal antara lain produk susu fermentasi oleh bakteri asam laktat (Lactobacilli dan Bifidobacterium) seperti yogurt, yakult, susu asidofilus, dan lain-lain. Selain mempunyai nilai nutrisi yang baik, produk tersebut dianggap memberi manfaat kesehatan dan terapeutik. Manfaat ini diperoleh akibat terbawanya bakteri-bakteri hidup ke dalam saluran pencernaan yang mampu memperbaiki komposisi mikroflora usus sehingga mengarah pada dominansi bakteri-bakteri yang menguntungkan kesehatan. Khusus pada tulisan ini akan memaparkan peran probiotik dalam menekan kanker kolon, meliputi apakah probiotik itu, bagaimana aksinya dalam menekan terjadinya kanker kolon serta upaya preventif (konsumsi synbiotik).

II. Perkembangan Kanker Kolon

Kanker kolon adalah kanker yang terjadi pada daerah kolon, yaitu usus besar bagian awal sepanjang 6 ft. Kadangkala disebut kanker kolorektal (colorectal ) apabila kanker berada di bagian kolon dan rektum (8-10 inch terakhir dari usus besar). Perkembangan kanker kolon diawali oleh tahap inisisasi, dimana suatu karsinogen menyebabkan perubahan pada DNA. Tahap ini didahului oleh aktivasi metabolik suatu prekursor (prokarsinogen) menjadi karsinogen. Terjadinya beberapa mutasi pada DNA akan mengawali perkembangan tumor. Tahap selanjutnya (post-inisiasi) belum jelas benar, meskipun biasanya melibatkan terjadinya perubahan dalam jalur transduksi sinyal. Selanjutnya adalah terjadinya pertumbuhan sel yang luar biasa yang dapat dilihat secara morfologis sebagai aberrant crypt (precancerous lesions). Aberrant crypt merupakan struktur preneoplastik, relatif lebih besar daripada normal crypt, dan akan berkembang lebih lanjut menjadi polip dan bahkan tumor. Pada Gambar 1. dapat dilihat polip yang tumbuh pada kolon.
Tumor dapat bersifat jinak (benign) dan ganas (malignant). Berbeda dengan tumor ganas (kanker), sel-sel tumor jinak tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya dan dapat hilang (tidak tumbuh lagi) setelah diangkat. Sedangkan sel-sel kanker dapat bermetastasi (menyebar) dan masuk ke dalam aliran darah dan system limfatik. Oleh karena itu studi efek probiotik terhadap perkembangan kanker kolon tidak sebatas menggunakan alur sel kanker kolon, namun juga melihat efeknya hingga ke darah atau jaringan lain.

III. Konsep Probiotik dan Mikroorganisme di Saluran Pencernaan

Brady et al. (2000) mensitasi definisi probiotik dari Gibson and Robertfroid (1995) sebagai pangan/suplemen pangan yang berisi mikroba hidup yang memberi efek yang menguntungkan (kesehatan) saluran pencernaan. Ditambahkan oleh Guarner dan Schaafsma (1998) bahwa mikroorganisme hidup tersebut dapat memberikan efek kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah cukup.
Konsep probiotik dikembangkan dari sebuah teori autointoksikasi yang dikemukakan oleh seorang ilmuwan Rusia penerima Nobel Biologi tahun 1908 yaitu Elie Metchnikoff. Menurutnya, secara perlahan pembusukan (putrefeksi) oleh bakteri dalam usus besar menghasilkan senyawa-senyawa beracun yang memasuki peredaran darah, yang disebut sebagai proses”autointoksikasi”. Proses inilah yang menyebabkan penuaan dan beberapa penyakit-penyakit degeneratif. Dia meyakini bahwa tingginya usia hidup warga suku-suku pegunungan di Bulgaria merupakan hasil dari konsumsi produk susu fermentasi. Bakteri yang ikut terkonsumsi bersama produk tersebut dan kemudian mampu tinggal di usus berpengaruh positif terhadap mikroflora di kolon dengan cara menurunkan efek toksik dari mikroorganisme yang merugikan di kolon.
Mikroorganisme yang berpeluang besar melintasi dan hidup pada saluran pencernaan adalah yang berasal dari tubuh manusia sendiri. Karena itu pada awalnya bakteri yang digunakan untuk pembuatan probiotik diisolasi dari usus manusia atau dari feses bayi sehat. Ada sekitar 100 spesies dan lebih dari 1014 bakteri terdapat dalam saluran pencernaan, termasuk bakteri-bakteri patogen dan bakteri yang menguntungkan. Pada Tabel 1. dapat dilihat mikroorganisme yang dominan terdapat pada saluran pencernaan manusia. Mikroflora dalam saluran pencernaan manusia sehat relatif stabil, tetapi bervariasi bergantung dari kondisi fisiologis, pangan yang dikonsumsi, pengobatan yang sedang dijalani, stress dan umur.

Tabel 1. Distribusi dan komposisi mikroflora intestinal (Lichtenstein and Goldin, 1998)
Daerah Komposisi a Jumlah total /ml material
Lambung Streptococcus
Lactobacillus 101 – 102
Duodenum dan jejunum Streptococcus
Lactobacillus 102 – 104
Ileal – cecal Bacteroides
Clostridium
Streptococci
Lactobacilli 106 – 108
Kolon Bacteroides
Clostridium
Eubacterium
Peptococcus
Bifidobacterium
Streptococcus
Fusobacterium 1011.5 – 1012
a Hanya mikroorganisme yang dominan di tiap bagian

IV. Syarat Probiotik dan Jenis-jenisnya

Agar suatu mikroorganisme menjadi probiotik yang efektif dalam memberi efek kesehatan maka disyaratkan: berasal dari manusia (human origin), stabil terhadap asam maupun cairan empedu, dapat menempel pada sel intestin manusia, dapat berkolonisasi di saluran pencernaan manusia, memproduksi senyawa antimikroba, dapat melawan bakteri patogenik dan kariogenik, telah teruji secara klinis aman dikonsumsi, serta tetap hidup selama pengolahan dan penyimpanan. Selain itu konsumsi harus dilakukan secara teratur sebanyak 100-150 ml produk (berisi 106 /ml bakteri hidup) setiap 2 atau 3 kali seminggu.
Saat ini terus dikembangkan penelitian-penelitian yang menggunakan mikroorganisme yang diisolasi dari usus manusia untuk digunakan dalam pembuatan probiotik. Bentuk produk probiotik bervariasi tidak lagi hanya dalam bentuk makanan atau minuman, tetapi juga tablet atau kapsul. Pada Tabel 2. berikut ini disajikan berbagai macam tipe probiotik dan bakteri probiotik yang umumnya digunakan.

Tabel 2. Tipe-tipe produk probiotik dan bakteri probiotik yang digunakan
Probiotik Bakteri
(yang umumnya digunakan)

Produk-produk susu fermentasi
(yogurt, buttermilk, susu asidofilus, dan lain-lain) Lab. bulgaricus
Str. thermophilus
Leu. mesenteroides
Lab. acidophilus
Lab. casei
Bifidobacteria spp.
Lab. reuteri
Pangan yang disuplementasi
(susu pasteurisasi, minuman-minuman) Lab. bulgaricus
Str. thermophilus
Lab. acidophilus
Bifidobacteria spp.
Lab. reuteri
Pharmaceuticals
(tablet, kapsul, granula) Lab. bulgaricus
Lab. acidophilus
Bifidobacteria spp.
Produk-produk health food
(cairan, kapsul, bubuk) Lab. acidophilus
Bifidobacteria spp.
Lactobacillus spp.


V. Mekanisme Perlindungan terhadap Kanker Kolon

Dalam banyak studi kanker kolon yang dilakukan menggunakan hewan maupun manusia, lebih banyak ditujukan untuk melihat bagaimana pangan (diet) berpengaruh terhadap faktor-faktor pemicu, seperti meningkatnya aktivitas enzim yang mengaktivasi karsinogen, meningkatnya senyawa-senyawa prokarsinogenik dalam kolon, dan perubahan populasi bakteri tertentu . Sejumlah studi membuktikan bahwa faktor pemicu tersebut berubah seperti yang diharapkan dengan pemberian probiotik.
Salminen et al. (1998) merangkum hasil studi efek klinis mikroorganisme probiotik. Beberapa probiotik yang berkaitan dalam menekan kanker kolon disajikan pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Bakteri probiotik dan efeknya perlindungannya terhadap kanker kolon

29 May 2008

FDA AND MONOSODIUM GLUTAMATE

Monosodium glutamate (MSG) is used as a flavor enhancer in a variety of foods prepared at home, in restaurants, and by food processors. Its use has become controversial in the past 30 years because of reports of adverse reactions in people who've eaten foods that contain MSG. Research on the role of glutamate--a group of chemicals that includes MSG--in the nervous system also has raised questions about the chemical's safety.

Studies have shown that the body uses glutamate, an amino acid, as a nerve impulse transmitter in the brain and that there are glutamate-responsive tissues in other parts of the body, as well. Abnormal function of glutamate receptors has been linked with certain neurological diseases, such as Alzheimer's disease and Huntington's chorea. Injections of glutamate in laboratory animals have resulted in damage to nerve cells in the brain. Consumption of glutamate in food, however, does not cause this effect. While people normally consume dietary glutamate in large amounts and the body can make and metabolize glutamate efficiently, the results of animal studies conducted in the 1980s raised a significant question: Can MSG and possibly some other glutamates harm the nervous system?

A 1995 report from the Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB), an independent body of scientists, helps put these safety concerns into perspective and reaffirms the Food and Drug Administration's belief that MSG and related substances are safe food ingredients for most people when eaten at customary levels.

The FASEB report identifies two groups of people who may develop a condition the report refers to as "MSG symptom complex." One group is those who may be intolerant to MSG when eaten in a large quantity. The second is a group of people with severe, poorly controlled asthma. These people, in addition to being prone to MSG symptom complex, may suffer temporary worsening of asthmatic symptoms after consuming MSG. The MSG dosage that produced reactions in these people ranged from 0.5 grams to 2.5 grams.

Although FDA has not fully analyzed the FASEB report, the agency believes that the report provides the basis to require glutamate labeling. FDA will propose that foods containing significant amounts of free glutamate (not bound in protein along with other amino acids) declare glutamate on the label. This would allow consumers to distinguish between foods with insignificant free glutamate levels and those that might contribute to a reaction.
What Is MSG?

MSG is the sodium salt of the amino acid glutamic acid and a form of glutamate. It is sold as a fine white crystal substance, similar in appearance to salt or sugar. It does not have a distinct taste of its own, and how it adds flavor to other foods is not fully understood. Many scientists believe that MSG stimulates glutamate receptors in the tongue to augment meat-like flavors.

Asians originally used a seaweed broth to obtain the flavor- enhancing effects of MSG, but today MSG is made by a fermenting process using starch, sugar beets, sugar cane, or molasses.

Glutamate itself is in many living things: It is found naturally in our bodies and in protein-containing foods, such as cheese, milk, meat, peas, and mushrooms.

Some glutamate is in foods in a "free" form. It is only in this free form that glutamate can enhance a food's flavor. Part of the flavor-enhancing effect of tomatoes, certain cheeses, and fermented or hydrolyzed protein products (such as soy sauce) is due to the presence of free glutamate.

Hydrolyzed proteins, or protein hydrolysates, are acid- treated or enzymatically treated proteins from certain foods. They contain salts of free amino acids, such as glutamate, at levels of 5 to 20 percent. Hydrolyzed proteins are used in the same manner as MSG in many foods, such as canned vegetables, soups, and processed meats.
Scientific Review

In 1959, FDA classified MSG as a "generally recognized as safe," or GRAS, substance, along with many other common food ingredients, such as salt, vinegar, and baking powder. This action stemmed from the 1958 Food Additives Amendment to the Federal Food, Drug, and Cosmetic Act, which required premarket approval for new food additives and led FDA to promulgate regulations listing substances, such as MSG, which have a history of safe use or are otherwise GRAS.

Since 1970, FDA has sponsored extensive reviews on the safety of MSG, other glutamates and hydrolyzed proteins, as part of an ongoing review of safety data on GRAS substances used in processed foods.

One such review was by the FASEB Select Committee on GRAS Substances. In 1980, the committee concluded that MSG was safe at current levels of use but recommended additional evaluation to determine MSG's safety at significantly higher levels of consumption. Additional reports attempted to look at this.

In 1986, FDA's Advisory Committee on Hypersensitivity to Food Constituents concluded that MSG poses no threat to the general public but that reactions of brief duration might occur in some people.

Other reports gave similar findings. A 1991 report by the European Communities' (EC) Scientific Committee for Foods reaffirmed MSG's safety and classified its "acceptable daily intake" as "not specified," the most favorable designation for a food ingredient. In addition, the EC Committee said, "Infants, including prematures, have been shown to metabolize glutamate as efficiently as adults and therefore do not display any special susceptibility to elevated oral intakes of glutamate."

A 1992 report from the Council on Scientific Affairs of the American Medical Association stated that glutamate in any form has not been shown to be a "significant health hazard."

Also, the 1987 Joint Expert Committee on Food Additives of the United Nations Food and Agriculture Organization and the World Health Organization have placed MSG in the safest category of food ingredients.

Scientific knowledge about how the body metabolizes glutamate developed rapidly during the 1980s. Studies showed that glutamate in the body plays an important role in normal functioning of the nervous system. Questions then arose on the role glutamate in food plays in these functions and whether or not glutamate in food contributes to certain neurological diseases.
Anecdotal Evidence

Many of these safety assessments were prompted by unconfirmed reports of MSG-related adverse reactions. Between 1980 and 1994, the Adverse Reaction Monitoring System in FDA's Center for Food Safety and Applied Nutrition received 622 reports of complaints about MSG. Headache was the most frequently reported symptom. No severe reactions were documented, but some reports indicated that people with asthma got worse after they consumed MSG. In some of those cases, the asthma didn't get worse until many hours later.

Also, several books and a TV news show have reported widespread and sometimes life-threatening adverse reactions to MSG, claiming that even small amounts of manufactured glutamates may cause adverse reactions.

A problem with these unconfirmed reports is that it is difficult to link the reactions specifically to MSG. Most are cases in which people have had reactions after, but not necessarily because of, eating certain foods containing MSG.

While such reports are helpful in raising issues of concern, they do not provide the kind of information necessary to describe who is most likely to be affected, under what conditions they'll be affected, and with what amounts of MSG. They are not controlled studies done in a scientifically credible manner.
1995 FASEB Report

Prompted by continuing public interest and a flurry of glutamate-related studies in the late 1980s, FDA contracted with FASEB in 1992 to review the available scientific data. The agency asked FASEB to address 18 questions dealing with:

* the possible role of MSG in eliciting MSG symptom complex
* the possible role of dietary glutamates in forming brain lesions and damaging nerve cells in humans
* underlying conditions that may predispose a person to adverse effects from MSG
* the amount consumed and other factors that may affect a person's response to MSG
* the quality of scientific data and previous safety reviews.

FASEB held a two-day meeting and convened an expert panel that thoroughly reviewed all the available scientific literature on this issue.

FASEB completed the final report, over 350 pages long, and delivered it to FDA on July 31, 1995. While not a new study, the report offers a new safety assessment based on the most comprehensive existing evaluation to date of glutamate safety.

Among the report's key findings:

* An unknown percentage of the population may react to MSG and develop MSG symptom complex, a condition characterized by one or more of the following symptoms:
* burning sensation in the back of the neck, forearms and chest
* numbness in the back of the neck, radiating to the arms and back
* tingling, warmth and weakness in the face, temples, upper back, neck and arms
* facial pressure or tightness
* chest pain
* headache
* nausea
* rapid heartbeat
* bronchospasm (difficulty breathing) in MSG-intolerant people with asthma
* drowsiness
* weakness.
* In otherwise healthy MSG-intolerant people, the MSG symptom complex tends to occur within one hour after eating 3 grams or more of MSG on an empty stomach or without other food. A typical serving of glutamate-treated food contains less than 0.5 grams of MSG. A reaction is most likely if the MSG is eaten in a large quantity or in a liquid, such as a clear soup.
* Severe, poorly controlled asthma may be a predisposing medical condition for MSG symptom complex.
* No evidence exists to suggest that dietary MSG or glutamate contributes to Alzheimer's disease, Huntington's chorea, amyotrophic lateral sclerosis, AIDS dementia complex, or any other long-term or chronic diseases.
* No evidence exists to suggest that dietary MSG causes brain lesions or damages nerve cells in humans.
* The level of vitamin B6 in a person's body plays a role in glutamate metabolism, and the possible impact of marginal B6 intake should be considered in future research.
* There is no scientific evidence that the levels of glutamate in hydrolyzed proteins causes adverse effects or that other manufactured glutamate has effects different from glutamate normally found in foods.

Ingredient Listing

Under current FDA regulations, when MSG is added to a food, it must be identified as "monosodium glutamate" in the label's ingredient list. Each ingredient used to make a food must be declared by its name in this list.

While technically MSG is only one of several forms of free glutamate used in foods, consumers frequently use the term MSG to mean all free glutamate. For this reason, FDA considers foods whose labels say "No MSG" or "No Added MSG" to be misleading if the food contains ingredients that are sources of free glutamates, such as hydrolyzed protein.

In 1993, FDA proposed adding the phrase "(contains glutamate)" to the common or usual names of certain protein hydrolysates that contain substantial amounts of glutamate. For example, if the proposal were adopted, hydrolyzed soy protein would have to be declared on food labels as "hydrolyzed soy protein (contains glutamate)." However, if FDA issues a new proposal, it would probably supersede this 1993 one.

In 1994, FDA received a citizen's petition requesting changes in labeling requirements for foods that contain MSG or related substances. The petition asks for mandatory listing of MSG as an ingredient on labels of manufactured and processed foods that contain manufactured free glutamic acid. It further asks that the amount of free glutamic acid or MSG in such products be stated on the label, along with a warning that MSG may be harmful to certain groups of people. FDA has not yet taken action on the petition.

WHATs MSG ?

Monosodium glutamate (MSG) is a flavor enhancer commonly added to Chinese food, canned vegetables, soups and processed meats. Although the Food and Drug Administration (FDA) has classified MSG as a food ingredient that is "generally recognized as safe," the use of MSG remains controversial.

MSG has been used as a food additive for decades. Over the years, the FDA has received many anecdotal reports of adverse reactions to foods containing MSG. But subsequent research found no definitive evidence of a link between MSG and the symptoms that some people described after eating food containing MSG. As a result, MSG is still added to some foods.

A comprehensive review of all available scientific data on glutamate safety sponsored by the FDA in 1995 reaffirmed the safety of MSG when consumed at levels typically used in cooking and food manufacturing. The report found no evidence to suggest that MSG contributes to any long-term health problems, such as Alzheimer's disease. But it did acknowledge that some people may have short-term reactions to MSG. These reactions — known as MSG symptom complex — may include:

* Headache, sometimes called MSG headache
* Flushing
* Sweating
* Sense of facial pressure or tightness
* Numbness, tingling or burning in or around the mouth
* Rapid, fluttering heartbeats (heart palpitations)
* Chest pain
* Shortness of breath

Symptoms are usually mild and don't require treatment. However, some people report more severe reactions. The only way to prevent a reaction is to avoid foods containing MSG. When MSG is added to food, the FDA requires that "monosodium glutamate" be listed on the label — or on the menu, in restaurants.

PROSES PEMBUATAN MSG

1. MSG dibuat melalui proses fermentasi dari tetes-gula (molases) oleh bakteri (Brevibacterium lactofermentum). Dalam peroses fermentasi ini, pertama-tama akan dihasilkan Asam Glutamat. Asam Glutamat yang terjadi dari proses fermentasi ini, kemudian ditambah soda (Sodium Carbonate), sehingga akan terbentuk Monosodium Glutamat (MSG). MSG yang terjadi ini, kemudian dimurnikan dan dikristalisasi, sehingga merupakan serbuk kristal-murni, yang siap di jual di pasar.

2. SEBELUM bakteri (pada Butir 1) tersebut digunakan untuk proses fermentasi pembuatan MSG, maka terlebih dahulu bakteri tersebut harus diperbanyak (dalam istilah mikrobiologi: dibiakkan atau dikultur) dalam suatu media yang disebut Bactosoytone. Proses pada Butir 2 ini dikenal sebagai proses pembiakan bakteri, dan terpisah sama-sekali (baik ruang maupun waktu) dengan proses pada Butir 1. Setelah bakteri itu tumbuh dan berbiak, maka kemudian bakteri tersebut diambil untuk digunakan sebagai agen-biologik pada proses fermentasi membuat MSG (Proses pada Butir 1).

3. Bactosoytone sebagai media pertumbuhan bakteri, dibuat tersendiri (oleh Difco Company di AS), dengan cara hidrolisis-enzimatik dari protein kedelai (Soyprotein). Dalam bahasa yang sederhana, protein-kedelai dipecah dengan bantuan enzim sehingga menghasilkan peptida rantai pendek (pepton) yang dinamakan Bactosoytone itu. Enzim yang dipakai pada proses hidrolisis inilah yang disebut Porcine, dan enzim inilah yang diisolasi dari pankreas-babi.

4. Perlu dijelaskan disini bahwa, enzim Porcine yang digunakan dalam proses pembuatan media Bactosoytone, hanya berfungsi sebagai katalis, artinya enzim tersebut hanya mempengaruhi kecepatan reaksi hidrolisis dari protein kedelai menjadi Bactosoytone, TANPA ikut masuk ke dalam struktur molekul Bactosoytone itu. Jadi Bactosoytone yang diproduksi dari proses hidrolisis-enzimatik itu, JELAS BEBAS dari unsur-unsur babi!!!, selain karena produk Bactosoytone yang terjadi itu mengalami proses "clarification" sebelum dipakai sebagai media pertumbuhan, juga karena memang unsur enzim Porcine ini tidak masuk dalam struktur molekul Bactosoytone, karena Porcine hanya sebagai katalis saja .

5. Proses clarification yang dimaksud adalah pemisahan enzim Porcine dari Bactosoytone yang terjadi. Proses ini dilakukan dengan cara pemanasan 160oF selama sekurang-kurangnya 5 jam, kemudian dilakukan filtrasi, untuk memisahkan enzim Porcine dari produk Bactosoytone-nya. Filtrat yang sudah bersih ini kemudian diuapkan, dan Bactosoytone yang terjadi diambil.

6. Perlu dijelaskan disini, bahwa proses pembuatan Media Bactosoytone ini merupakan proses yang terpisah sama sekali dengan proses pembuatan MSG. Media Bactosoytone merupakan suatu media pertumbuhan bakteri, dan dijual di pasar, tidak saja untuk bakteri pembuat MSG, tetapi juga untuk bakteri-bakteri lainnya yang digunakan untuk keperluan pembuatan produk biotek-industri lainnya.

7. Catatan: nama Bactosoytone merupakan nama dagang, yang dapat diurai sebagai berikut: Bacto adalah nama dagang dari Pabrik pembuatnya (Difco Co); Soy dari asal kata soybean:kedelai, tone, singkatan dari peptone; jadi Bactosoyton artinya pepton kedelai yang dibuat oleh pabrik Difco.

8. Setelah bakteri tersebut ditumbuhkan pada Media bactosoytone, kemudian dipindahkan ke Media Cair Starter. Media ini sama sekali tidak mengandung bactosoytone. Pada Media Cair Starter ini bakteri berbiak dan tumbuh secara cepat.

9. Kemudian, bakteri yang telah berbiak ini dimasukkan ke Media Cair Produksi, dimana bakteri ini mulai memproduksi asam glutamat; yang kemudian diubah menjadi MSG. Media Cair Produksi ini juga tidak mengandung bactosoytone.

10. Perlu dijelaskan disini bahwa bakteri penghasil MSG adalah Brevibacterium lactofermentum atau Corynebacterium glutamicum, adalah bakteri yang hidup dan berkembang pada media air. Jadi bakteri itu termasuk aqueous microorganisms.

11. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal POM di Jakarta menunjukkan bahwa:
Bactosoytone tidak terkontaminasi (tidak tercampur) dengan Lemak babi (data Analisis Gas Chromatography); Protein babi (data Analisis HPLC), maupun DNA-babi (data Analisis PCR).
MSG tidak terkontaminasi (tidak tercampur) dengan: Lemak babi (data Analisis Gas Chromatography); Protein babi (data Analisis HPLC), maupun DNA babi (data Analisis PCR).

12. Hasil Analisis yang dilakukan di Jepang (Kyoto University) juga menunjukkan bahwa baik MSG maupun Bactosoytone tidak terkontaminasi oleh enzim babi.

KESIMPULAN:
Bactosoytone (dari Difco Co) maupun Produk MSG (Ajino moto), jelas sedikitpun tidak mengandung unsur-unsur babi, baik lemak, protein maupun DNA-babi.

Fungsikah MSG bagi kita ?

Memang tidak dipungkiri, kelezatan suatu hidangan dapat menambah gairah santap. Berbagai carapun dilakukan untuk menghasilkannya. Salah satu dengan menambahkan sedikit bahan penyedap rasa instan. Penyedap rasa instan ini mudah didapat, harganyapun murah. Sehingga sering membuat kita lupa, ada zat apa di balik penyedap makanan tersebut?



Sebenarnya kelezatan suatu hidangan tidak hanya diperoleh dari bahan penyedap rasa saja, tetapi dapat juga diperoleh dari bahan-bahan makanan yang masih segar dan bermutu baik.
Dari semua zat penting dalam makanan Glutamate merupakan salah satu komponen utama yang memberikan rasa lezat pada makanan.







Apa sih Glutamate itu ?
Glutamate adalah asam amino (amino acid) yang secara alami terdapat pada semua bahan makanan yang mengandung protein. Misalnya, keju, susu, daging, ikan dan sayuran. Glutamate juga diproduksi oleh tubuh manusia dan sangat diperlukan untuk metabolisme tubuh dan fungsi otak. Setiap orang rata-rata membutuhkan kurang lebih 11 gram Glutamate per hari yang didapat dari sumber protein alami.










Kalau begitu Monosodium Glutamate itu apa ?
Monosodium Glutamate adalah zat penambah rasa pada makanan yang dibuat dari hasil fermentasi zat tepung dan tetes dari gula beet atau gula tebu. Ketika MSG ditambahkan pada makanan, dia memberikan fungsi yang sama seperti Glutamate yaitu memberikan rasa sedap pada makanan. MSG sendiri terdiri dari air, sodium dan Glutamate.







Apakah kandungan sodium pada MSG tinggi ?
Tentu saja tidak, kandungan sodium pada MSG tidak tinggi hanya satu sampai tiga persen sodium. Sedangkan sodium pada garam dapur jumlahnya lebih banyak. Perbandingan jumlah sodium pada MSG dan garam dapur adalah (13% : 40%).







Apakah MSG mempunyai efek negatif terhadap tubuh ?
Ya, apalagi jika MSG digunakan secara berlebihan. 12 gram MSG per hari dapat menimbulkan gangguan lambung, gangguan tidur dan mual-mual. Bahkan beberapa orang ada yang mengalami reaksi alergi berupa gatal, mual dan panas. Tidak hanya itu saja MSG juga dapat memicu hipertensi, asma, kanker serta diabetes, kelumpuhan serta penurunan kecerdasan.









Apakah ada bahan pengganti lainnya agar masakan terasa sedap ?
Ada. Selain menngunakan bahan makanan yang bermutu baik dan masih segar, kita dapat memberi sedikit gula pasir pada masakan, karena gula pasir juga dapat memberi efek gurih pada masakan.

Keamanan monosodium glutamat

Hampir seabad lamanya, monosodium glutamat telah digunakan dengan aman dan efektif dalam penyajian makanan. Sebab monosodium glutamat telah dipakai secara luas sebagai bahan tambahan makanan maka sebagian besar penelitian telah dilakukan mengenai keamanan dan daya gunanya. Beratus studi ilmiah telah dilakukan terhadap glutamat dengan fokus pada penggunaannya sebagai bahan makanan dan ditinjau ulang oleh para ilmuwan dan dinas pengaturan di seluruh dunia dikombinasikan dengan manfaat panjang penggunaannya, dengan jelas menunjukkan bahwa monosodium glutamat adalah aman.

Di Amerika Serikat, monosodium glutamat (MSG) dianggap sebagai bahan makanan umum, seperti garam, serbuk kuweh dan merica. Zat itu dimasukkan ke dalam daftar Generally Recognized As Safe (GRAS) dari FDA (Food and Drug Administration) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pencantuman daftar ini berarti bahwa monosodium glutamat adalah aman untuk penggunaan yang dimaksudkan.

Perundang-undangan Amerika Serikat tentang peraturan-peraturan Federal menyatakan, "Tidaklah praktis untuk membuat daftar dari semua bahan yang dianggap aman secara umum untuk penggunaan sebagai yang direncanakan. Meskipun demikian sebagai suatu ilustrasi, komisaris (dari FDA) mengganggap bahan-bahan makanan umum seperti garam, merica, cuka, bubuk pengembang roti dan monosodium glutamat itu sebagai aman untuk digunakan sebagai yang direncanakan". Monosodium glutamat juga disetujui oleh pemerintah-pemerintah sedunia, termasuk pemerintah di Eropa, Jepang dan negara-negara Asia lainnya, Amerika Utara dan Selatan, Afrika serta Australia dan Selandia Baru.

Di tahun 1987, the Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa monosodium glutamat itu aman. Panitia tersebut memutuskan bahwa tidaklah perlu untuk menetapkan suatu "Acceptable Daily Intake" dengan angka. Angka ADI itu kadang kala digunakan sebagai pedoman tingkat keamanan maksimum konsumsi bahan tambahan makanan.

Di tahun 1991, the European Commission's Scientific Committee for Food (SCF) menegaskan kembali keamanan monosodium glutamat. SCF juga berpendapat bahwa tidak perlu menetapkan Acceptable Daily Intake dengan angka.

Dalam laporannya kepada F.D.A di tahun 1995, setelah mengadakan peninjauan kembali secara komprehensif literatur ilmiah tentang monosodium glutamat, the Federation of American Societies for Experimental Biology (FASEB) berkesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara glutamat bebas alamiah yang terdapat dalam jamur, kiju dan tomat dengan glutamat bebas yang dibuat (manusia) yang terdapat dalam MSG, protein yang dihidrolisa dan kecap kedelai. Laporan itu berkesimpulan bahwa monosodium glutamat adalah aman untuk rakyat pada umumnya.

MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya

Beberapa kali muncul kekhawatiran di media, terutama diwakili oleh Lembaga Konsumen, soal di pasaran ada berbagai produk makanan ringan dalam kemasan yang biasa dikonsumsi anak-anak, tidak mencantumkan kandungan MSG (vetsin). Kritik tersebut menyatakan, konsumsi MSG dalam jumlah tertentu mengancam kesehatan anak-anak. Menteri Kesehatan pun sudah memberi pernyataan yang meminta BPOM menarik produk makanan kemasan yang tidak mencantumkan kandungan MSG/ Seberapa jauhkah sebenarnya MSG membahayakan kesehatan manusia ?

Sejarah

Jurnal Chemistry Senses [[6]] menyebutkan, Monosodium Glutamate (MSG) mulai terkenal tahun 1960-an, tetapi sebenarnya memiliki sejarah panjang. Selama berabad-abad orang Jepang mampu menyajikan masakan yang sangat lezat. Rahasianya adalah penggunaan sejenis rumput laut bernama Laminaria japonica. Pada tahun 1908, Kikunae Ikeda, seorang profesor di Universitas Tokyo, menemukan kunci kelezatan itu pada kandungan asam glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya - asam, manis, asin dan pahit - dengan umami (dari akar kata umai yang dalam bahasa Jepang berarti lezat). Sementara menurut beberapa media populer [[20]], sebelumnya di Jerman pada tahun 1866, Ritthausen juga berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya menjadi dalam bentuk monosodium glutamate (MSG), tetapi belum tahu kegunaannya sebagai penyedap rasa.

Sejak penemuan itu, Jepang memproduksi asam glutamat melalui ekstraksi dari bahan alamiah. Tetapi karena permintaan pasar terus melonjak, tahun 1956 mulai ditemukan cara produksi L-glutamic acid melalui fermentasi. L-glutamic acid inilah inti dari MSG, yang berbentuk butiran putih mirip garam. MSG sendiri sebenarnya tidak memiliki rasa. Tetapi bila ditambahkan ke dalam makanan, akan terbentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus di otak dan mempresentasikan rasa dasar dalam makanan itu menjadi jauh lebih lezat dan gurih.

Sejak tahun 1963, Jepang bersama Korea mempelopori produksi masal MSG yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Setidaknya sampai tahun 1997 sebelum krisis, setiap tahun produksi MSG Indonesia mencapai 254.900 ton/tahun dengan konsumsi mengalami kenaikan rata-rata sekitar 24,1% per tahun [[8]].

Efek terhadap hewan coba

Di otak memang ada asam amino glutamat yang berfungsi sebagai neurotransmitter untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Tetapi bila terakumulasi di sinaps (celah antar sel syaraf) akan bersifat eksitotoksik bagi otak. Karena itu ada kerja dari glutamate transporter protein untuk menyerapnya dari cairan ekstraseluler, termasuk salah satu peranannya untuk keperluan sintesis GABA (Gamma Amino Butyric Acid) oleh kerja enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD). GABA ini juga termasuk neurotransmitter sekaligus memiliki fungsi lain sebagai reseptor glutamatergik, sehingga bisa menjadi target dari sifat toksik glutamat. Disamping kerja glutamate transporter protein, ada enzim glutamine sintetase yang bertugas merubah amonia dan glutamat menjadi glutamin yang tidak berbahaya dan bisa dikeluarkan dari otak. Dengan cara ini, meski terakumulasi di otak, asam glutamat diusahakan untuk dipertahankan dalam kadar rendah dan non-toksik. Reseptor sejenis untuk glutamat juga ditemukan di beberapa bagian tubuh lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta dan usus. Pada konsumsi MGS, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan terikat di usus, dan selebihnya dilepaskan ke dalam ke darah. Selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh termasuk akan menembus sawar darah otak dan terikat oleh reseptornya. Sayangnya, seperti disebutkan sebelumnya, asam glutamat bebas ini bersifat eksitotoksik sehingga dihipotesiskan akan bisa merusak neuron otak bila sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar rendah [[1]; [9]; [19]].

Jurnal Neurochemistry International bulan Maret 2003 melaporkan, pemberian MSG sebanyak 4 mg/g berat badan ke bayi tikus menimbulkan neurodegenerasi berupa jumlah neuron lebih sedikit dan rami dendrit (jaringan antar sel syaraf otak) lebih renggang. Kerusakan ini terjadi perlahan sejak umur 21 hari dan memuncak pada umur 60 hari [[21]; [5]].

Sementara bila disuntikkan kepada tikus dewasa, dosis yang sama menimbulkan gangguan pada neuron dan daya ingat. Pada pembedahan, ternyata terjadi kerusakan pada nucleus arkuatus di hipothalamus (pusat pengolahan impuls syaraf) [[12]].

Sedang menurut Jurnal Brain Research, pemberian MSG 4 mg/g terhadap tikus hamil hari ke 17-21 menunjukkan bahwa MSG mampu menembus plasenta dan otak janin menyerap MSG dua kali lipat daripada otak induknya. Juga 10 hari setelah lahir, anak-anak tikus ini lebih rentan mengalami kejang daripada yang induknya tidak mendapat MSG. Pada usia 60 hari, keterampilan mereka juga kalah dari kelompok lain yang induknya tidak mendapat MSG [[24]; [14]].

Tetapi kelompok anak-anak tikus yang mendapat MSG pada penelitian di atas justru lebih gemuk. Ternyata, MSG juga meningkatkan ekskresi insulin sehingga tikus-tikus tersebut cenderung menderita obesitas. Pada penelitian lain, bila diteruskan sampai 3 bulan, ternyata akan terjadi resistensi terhadap insulin dan berisiko menderita diabetes [[3]; [7]]).

Penelitian lain di Jurnal of Nutritional Science Vitaminologi bulan April 2003, pemberian MSG terhadap tikus juga mengganggu metabolisme lipid dan aktivitas enzim anti-oksidan di jaringan pembuluh darah, menjadikan risiko hipertensi dan penyakit jantung. Kerusakan enzim anti-oksidan ini ternyata yang juga menimbulkan kerusakan kronis di jaringan syaraf. Secara umum, anti oksidan memang berperan penting bagi kesehatan di seluruh bagian tubuh [[16]; [17]].

Ada juga laporan dari Experimental Eye Research tahun 2002 bahwa konsumsi tinggi MSG berakibat kerusakan pada fungsi dan morfologi retina. Akibatnya banyak terjadi glaukoma (peninggian tekanan dalam bola mata). Proses ini terjadi secara perlahan, yang kalau pada manusia diduga akan terjadi pada umur sekitar 40 tahun, setelah konsumsi MSG sejak anak-anak [[11]].

Efek terhadap manusia

Pada tahun 1959, Food and Drug Administration di Amerika mengelompokkan MSG sebagai "generally recognized as safe" (GRAS), sehingga tidak perlu aturan khusus. Tetapi tahun 1968, muncul laporan di New England Journal of Medicine tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran china sehingga disebut "Chinese Restaurant Syndrome". Karena kompisisinya dianggap signifikan dalam masakan itu, MSG diduga sebagai penyebabnya, tetapi belum dilaporkan bukti ilmiahnya [[4]].

Untuk itu, tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan konsumsi garam. Mengingat belum ada data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak boleh diberikan kepada bayi kurang dari 12 minggu. Tahun 1980, laporan-laporan tentang hubungan MSG dengan Chinese Restaurant Syndrome ini kembali banyak muncul berupa sakit kepala, palpitasi (berdebar-debar), mual dan muntah. Pada tahun ini pula diketahui bahwa glutamate berperan penting pada fungsi sistem syaraf, sehingga muncul pertanyaan, seberapa jauh MSG berpengaruh terhadap otak.

Selanjutnya di tahun 1986, Advisory Committee on Hypersensitivity to Food Constituent di FDA menyatakan, pada umumnya konsumsi MSG itu aman, tetapi bisa terjadi reaksi jangka pendek pada sekelompok orang. Hal ini didukung juga oleh laporan dari European Communities (EC) Scientific Committee for Foods tahun 1991. Untuk itu, FDA memutuskan tidak menetapkan batasan pasti untuk konsumsi MSG. Usaha penelitian masih dilanjutkan, bekerja sama dengan FASEB (Federation of American Societies for Experimental Biology) sejak tahun 1992.

Laporan FASEB 31 Juli 1995 menyebutkan, secara umum MSG aman dikonsumsi. Tetapi memang ada dua kelompok yang menunjukkan reaksi akibat konsumsi MSG ini. Pertama adalah kelompok orang yang sensitif terhadap MSG yang berakibat muncul keluhan berupa : rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku-kaku otot dari daerah tersebut menyebar sampai ke punggung. Gejala lain berupa rasa panas dan kaku di wajah diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual, berdebar-debar dan kadang sampai muntah. Gejala ini mirip dengan Chinese Restaurant Syndrome, tetapi kemudian lebih tepat disebut MSG Complex Syndrome. Sndrom ini terjadi segera atau sekitar 30 menit setelah konsumsi, dan bertahan selama sekitar 3 - 5 jam. Berbagai survei dilakukan, dengan hasil persentase kelompok sensitif ini sekitar 25% dari populasi.

Sedang kelompok kedua adalah penderita asma, yang banyak mengeluh meningkatnya serangan setelah mengkonsumsi MSG. Munculnya keluhan di kedua kelompok tersebut terutama pada konsumsi sekitar 0,5 รข?“ 2,5 g MSG. Sementara untuk penyakit-penyakit kelainan syaraf seperti Alzheimer dan Hungtinton chorea, tidak didapatkan hubungan dengan konsumsi MSG [[23]; [18]].

Kontroversi

Sejauh ini, belum banyak penelitian langsung terhadap manusia. Hasil dari penelitian dari hewan, memang diupayakan untuk dicoba pada manusia. Tetapi hasil-hasilnya masih bervariasi. Sebagian menunjukkan efek negatif MSG seperti pada hewan, tetapi sebagian juga tidak berhasil membuktikan. Yang sudah cukup jelas adalah efek ke terjadinya migren terutama pada usia anak-anak dan remaja seperti laporan Jurnal Pediatric Neurology [[10]]. Memang disepakati bahwa usia anak-anak atau masa pertumbuhan lebih sensitif terhadap efek MSG daripada kelompok dewasa. Sementara untuk efek terjadinya kejang dan urtikaria (gatal-gatal dan bengkak di kulit seperti pada kasus alergi makanan), masih belum bisa dibuktikan [[15]].

Di sisi lain, Jurnal Appetite tahun 2002 melaporkan, faktor psikologis juga berpengaruh. Bila seseorang sudah merasa dirinya sensitif, maka berapapun kadar yang ada, MSG Complex Syndrome akan terjadi. Sebaliknya, ada kelompok lain yang memerlukan dosis MSG lebih tinggi dibanding rata-rata orang, untuk mendapatkan sensasi rasa lezat. Diduga, paparan terus menerus menyebabkan peninggian ambang rangsang reseptor di otak untuk asam glutamat [[13]].

Begitupun, menyadari tingginya konsumsi MSG di wilayah Asia, WHO menggunakan MSG untuk program fortifikasi vitamin A. Di Indonesia pernah dilakukan pada tahun 1996. Juga, penggunaan MSG bisa menjadi salah satu pilihan dalam menurunkan konsumsi garam (sodium) yang berhubungan dengan kejadian hipertensi khususnya pada golongan manula. Hal ini karena untuk mencapai efek rasa yang sama, MSG hanya mengandung 30% natrium dibanding garam [[2]].

Sementara itu, Jurnal Nutritional Sciences tahun 2000 melaporkan, kadar asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah konsumsi MSG 30 mg/kg berat badan/hari, yang berarti sudah mulai melampaui kemampuan metabolisme tubuh. Bila masih dalam batas terkendali, peningkatan kadar ini akan menurun kembali ke kadar normal atau seperti kadar semula dalam 3 jam. Peningkatan yang signifikan baru mulai terjadi pada konsumsi 150 mg/kg berat badan/hari. Efek ini makin kuat bila konsumsi ini bersifat jangka pendek dan besar atau dalam dosis tinggi (3 gr atau lebih dalam sekali makan). Juga ternyata MSG lebih mudah menimbulkan efek bila tersaji dalam bentuk makanan berkuah [[22]].

Sebenarnya hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat. Dalam urutan makin tinggi, beberapa diantaranya mengandung kadar tinggi seperti : susu, telur, daging, ikan, ayam, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju. Termasuk dalam hal ini juga bumbu-bumbu penyedap alami seperti vanili atau daun pandan. Melihat hasil penelitian untuk batasan metabolisme (30 mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5 - 3,5 g MSG (berat badan 50 - 70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi sekaligus. Sementara, satu sendok teh rata-rata berisi 4 - 6 gram MSG. Masalahnya, sumber penambahan MSG sering tidak disadari pada beberapa sajian berkuah, sehingga tidak semata-mata penambahan dari MSG yang sengaja ditambahkan atau yang dari sediaan di meja makan. Masih belum dicapai kesepakatan mengenai glutamat dari sumber alamiah dan non alamiah ini. Sejauh ini dinyatakan tidak ada perbedaan proses metabolisme di dalam tubuh diantara keduanya. Yang jelas, aturan FDA tidak mengharuskan pencantuman dalam label untuk glutamat dalam bahan-bahan alamiah tersebut.

Yang perlu disadari, seringkali makanan kemasan tidak mencantumkan MSG ini secara jelas. Banyak nama lain yang sebenarnya juga mengandung MSG seperti : penyedap rasa, hydrolized protein, yeast food, natural flavoring, modified starch, textured protein, autolyzed yeast, seasoned salt, soy protein dan istilah-istilah sejenis. Akibatnya, kadar asam glutamat sesungguhnya, seringkali tidak seperti yang dicantumkan. Aturan mengharuskan pencantuman komposisi dalam kemasan harus jelas agar konsumen dapat mempertimbangkannya sesuai kondisi masing-masing.

Mensikapi hasil penelitian yang masih diliputi kontroversi, ada satu kekhawatiran bahwa efek MSG ini memang bersifat lambat. Seperti pada penelitian terhadap hewan, efek tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi setelah konsumsi jangka panjang meski dalam dosis rendah. Sayang penelitian jangka panjang tentu saja sulit dilakukan pada manusia. Diduga, akumulasi terus menerus dalam dosis rendah ini yang perlu diwaspadai. Di sisi lain, sebenarnya berusaha beralih ke penyedap rasa alami, memang lebih baik. Meski begitu, bagi yang sudah terbiasa memang tidak mudah, karena ada semacam kecanduan terhadap efek MSG ini terhadap reseptor di otak pemberi rasa sedap.


Prev: MSG adalah suatu tradisi